ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat

ssst… jangan berisik,
ada yang sedang seru berdebat

Amira namanya remaja putri berusia dua puluh tahun yang sangat ramah. Mengenakan busana muslimah yang menurutku tidak begitu ekstrim seperti remaja putri binaan di kampusku. Ramah, anggun, santun, tidak pernah membeda-bedakan masalah agama dalam berteman. Banyak teman yang senang bergaul dengannya termasuk juga aku yang bisa begitu cocok pada berbagai pandangan pengetahuan agama. Meskipun Amira dan aku berbeda dari sudut latar belakang yang notabene aku lulusan dari ponpes tradisional dan dia dari ponpes modern namun dalam berbagai hal seperti saling melengkapi satu sama lain.

Meskipun berasal dari latar belakang seorang pesantren namun dia dalam mengamalkan dari apa yang pernah dia pelajari di pesantren tidak pernah terlalu muluk-muluk atau ditonjolkan. Begitu juga dalam mengingatkan temannya yang seagama yang dirasa kurang memenuhi pereaturan agama, dia tidak lantas langsung menegur, namun diberi tahu dengan lembut dan tidak sedikitpun melukai perasaan yang diingatkan tersebut.
“maaf mbak, jilbabnya belum menutupi semua rambutnya mbak!”
Tegur Mira sapaan akrab Amira pada suatu ketika aku melihatnya dibelakang kelas sedang memberi nasehat kepada temannya.

Dia sangat menghormati hak dan pendapat orang lain. Jika teman tersebut memiliki alasan meskipun tidak logis untuk menjawab pertanyaanya, dia tidak lantas langsung menyembur dan menyatakan salah kepada temannya tersebut. Yang selalu menjadi perhatianku dia mau berteman dengan temannya yang beda agama. Sehingga meskipun dia berjilbab, temannya yang berbeda agama tersebut tidak pernah sungkan untuk bergaul, mengobrol, sharing dengannya.
Aku kenal dengannya baru satu setengah tahun belakang ini, saat aku masuk jurusan sastra Inggris sama seperti jurusan yang dia tempuh. Meskipun usianya satu tahun dibawahku namun dia menjadi kakak tengkatku di salah satu perguruan tinggi negeri di jawa tengah namun dia tetap menghormati aku untuk memanggilnya mas, karena dia tahu kalau aku waktu SMA dulu adalah kakak kelasnya. Kadang pula dia memanggilku dengan sebutan “dek” jika sedang becanda dan iseng denganku.



Hal lain yang menjadi perhatianku juga dari teman remaja putri seangkatannya yang menjadi mahasiswa binaan kerohanian islam di kampusku. Mereka memakai baju gamis dengan jilbab yang besar bahkan ada yang memakai cadar seperti adat masyarakat Arab. Namun sayangnya dalam hal amar makruf nahi munkar yang menjadi semangat mereka menegakkan agama islam aku rasa kurang mencerminkan budaya islam yang begitu santun.

Apabila mereka melihat sesuatu yang menurut pemahamannya dianggap munkar, maka tidak segan-segan mereka menegur secara terang-terangan langsung dihadapannya. Ketika melihat teman putri yang biasa mereka panggil atau sebut dengan panggilan ukhti yang kurang rapat jilbabnya sehingga rambutnya terlihat dan yang bercelana ketat mereka pun langsung menegur habis-habisan.
“harusnya tu sebagai akhwat yang muslimah memakai pakaian yang longgar dan jilbabnya juga besar sehingga dapat menutupi bagian atas dari tubuh kita ukhti!!” cerita salah satu temanku yang pernah ditegur oleh mereka.
“ukhti, tahu hukumnya dekat dengan ikhwan yang notabene jelas-jelas bukan muhrim nggak?” tegur salah satu mahasiswi binaan kepada teman seangkatanku pada saat dia memergokinya sedang berduaan dengan teman laki-lakinya.
“itu salah satu jurus ampuh setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang perzinaan ukh!” tambah mahasiswi binaan tersebut.



Tak pelak Amira pun pernah menjadi sasaran teguran oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“ukh, kok temannya banyak yang non islam?” suatu ketika saat Amira sedang berpapasan dengannya.
Sontak Amira kaget dengan teguran kakak tingkatnya tersebut,
“lho maaf mbak, memangnya nggak boleh ya orang muslim berteman dengan orang yang non muslim?”
“bukan begitu ukh, kita harus bisa memilih teman yang baik yang sesuai sareat islam. Ukhti pernah mendengar dalil yang menyatakan ketidakbolehan umat muslim untuk bergaul dengan orang yang non muslim kan?” mahasiswi binaan tersebut mencoba mengertikan maksudnya kepada Amira.
Amira pun hanya mengangguk sekedar mengangguk dan mengucapkan terimakasih karena telah diingatkan lantas pergi meninggalkannya untuk menghindari perdebatan yang tiada guna. Seandainya Amira menghendaki untuk berdebat aku rasa dia sangat mampu, namun bukan itu yang diinginkannya.

Pernah suatu pagi aku ditelpon oleh Amira menanyakan tentang alasan mengapa tauhid merupakan pokok dari agama islam, dan meminta dicarikan dalil dari hal tersebut.
“memangnya untuk apa mir?” tanyaku agak pesimis terhadap pertanyaannya, karna aku tahu sepertinya dia juga tahu jawabannya.
Akhirnya setelah kutanyakan alasan mengapa menanyakan hal tersebut dia menceritakan kejadian yang sebenarnya yang sedang dia alami.
“begini mas, tadi saat saya kegiatan mentoring kakak mentor saya membahas masalah tauhid yang merupakan pokok dari agam islam. Lantas aku bertanya alasan mengapa tauhid menjadi pokok dari agama islam, tapi mbak mentornya malah menjawab “kan ada dalilnya tu dalam Al-quran surat al ikhlas ukh”
Bukankah dalil tersebut merupakan sifat dari Allah dan pengukuhan bahwa Allah itu satu ya kan mas?” seolah dia kurang puas dengan jawaban yang diberikan oleh kakak mentornya. Dan aku mencoba menjelaskan alasan dari pertanyaan yang ditujukan kepada kakak mentornya tersebut.
“lalu dalilnya ada nggak mas?” amira menanyakan kefalidtan dari uraianku.
“sebentar aku cari dulu di kitab Qomi’ Thugyan, nanti kalau sudah ketemu biar aku beri tahu ke kamu lewat sms atau langsung.” Aku mencoba menawar waktu untuk memastikan kefalidtan dari pendapatku.
“terimakasih mas, atas bantuannya. Tadi tu mbak mentornya bersikukuh mengatakan bahwa surat al ikhlas itu dalilnya namun saya masih ragu dengan jawabannya tersebut.” Aku merasakan kecemasannya mulai mereda setelah mendengar jawabanku.
Yang lucu darinya seingatku pada saat dia berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswi binaan dari satu bidang organisasi kampus.
“afwan ukhti Mira ana tadi kurang paham dengan maksud antum.” Tanya seorang dari mereka kepada Amira.
Amira hanya melototkan mata dan diam agaknya kurang mengerti dari bahasa yang digunakan oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“oh afwan, antum bukan mahasiswi binaan ya? Jadi kurang mengerti dengan beberapa kata yang saya ucapkan. Maaf ya?”
Amira hanya tersenyum kemudian dia dengan santai menjawab pertanyaan tersebut menggunakan bahasa arab penuh dan lancar dalam pengucapannya. “fa’fu ‘anni bi hali dzalik, inna jawabiy kadza wa kadza. Fahimta?”
Sontak empat temannya yang sedang berdiskusi tersebut terheran-heran dengan kelancaran bahasa arab yang diucapkan Amira.
Amira pun tertawa mengingat kejadian tersebut ketika menceritakaanya kepadaku.

Sekitar pukul tiga belas selepas sholat dhuhur, aku dan Amira yang kebetulan satu bidang dalam organisasi mahasiswa bahasa inggris yang mengorganisasi tentang keagamaan islam mengikuti acara sarasehan yang diadakan di aula masjid Futuhiyah. Dalam kesempatan tersebut setiap anggota dipersilakan untuk mengeluarkan unek-unek ataupun kritik dan saran untuk bidang satu ini dan kepada kabid sekbidnya.
Aku yang mendapat kesempatan pertama langsung mengeluarkan unek-unek yang selama ini aku rasakan karena sangat jarang mendapat undangan rapat bidang dan berbagai kegiatan acara yang menjadi proker bidang ini. Aku mengulas banyak kekurangan yang aku rasakan.
“maaf mas memang saya ini tidak begitu piawai dan senang dalam organisasi, namun setidaknya juga perlu diperhatikan lah… kan saya juga masih tercatat sebagai anggota bidang ini. Mungkin bukan hanya saya saja namun juga yang lain agar lebih bersemangat dalam berorganisasi.”

Mas Afrizal yang menjadi kabid menanggapi unek-unek dari anggota-anggota yang lainnya juga dan menyatakan kesediaannya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada bidang satu.
Giliran sekbid mbak Zahro mengutarakan unek-uneknya, “... ya, paling tidak semua anggota dari bidang satu ini bisa diarahkan dari yang semula berpakaian ketat sekarang menjadi longar dan berjilbab besar. Untuk yang ikhwan diharapkan untuk mengenakan celana yang tingginya berada di atas mata kaki dan kalo bisa lagi nih, di usahakan untuk memelihara jenggot kan dua hal tersebut merupakan anjuran nabi besar Muhammad SAW.”

Amira yang agaknya kurang setuju dengan pendapat tersebut menunggu mbak zahro menyelesaikan pembicaraan dan angkat bicara untuk menanggapinya.
“mohon maaf sebelumnya, bukannya saya menentang dari beberapa anjuran dalam islam tersebut mbak. Namun bukankah islam adalah agama rahmatan lili’alamin? Dan tidak ada paksaan dalam melaksanakannya. La ikroha fiddiin. Saya rasa semua orang bebas untuk menentukan pilihannya dalam anjuran ini. Jadi kita tidak boleh memaksakan kehendak dengan dalil-dalil yang kita punya untuk menerapkannya. Memang kita harus ber amar ma’ruf dan nahi munkar, namun bukan seperti itu yang di anjurkan oleh nabi kita mbak! Kita harus menggunakan bahasa yang santun dan tidak boleh sampai menyakiti hati orang tersebut. Misalkan ada putra yang mengenakan celana yang panjangnya hingga mencapai di bawah mata kaki itupun ada pendapat ulama yang memperbolehkannya. Menurut imam Syafii pun hal semacam tersebut bukanlah suatu amalan yang berdosa, karna yang menjadi penyebab sumber dosa dari referensi hadis nabi mengenai hala tersebut adalah bmengenakan dengan niatan sombong. Jadi misalkan ada putra yang mengenakan celana sampai di atas mata kaki dengan niatan sombong itu pun juga termasuk dosa.”

Tak mau kalah dengan Amira yang merupakan adik tingkat dari mbak Zahro, mbak Zahro pun mengeluarkan argumen yang tak kalah kuatnya hingga suasana pun memanas.
Aku hanya terdiam sambil tersenyum melihat suasana tersebut. Sambil mengamati wajah Amira yang begitu tegas dan semakin menambah wibawa kecantikannya di saat sedang berdebat. Aku pun mengatakan kepada teman yang duduk di sebelahku “ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat.”

Karanganyar, 7 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARI BERSAMA GURATKAN KATA UNTUK MENGUBAH DUNIA
free counters

Total Tayangan