Kang Wawan

Kepulangannya kali ini agaknya ada sesuatu yang mengganjal difikirannya. Hal itu terlihat dari raut mukanya yang seperti memikul beban berat dan ingin segera untuk diletakkan atau mungkin dia pulang untuk meminta bantuan seseorang untuk melepaskan beban yang menggantung dan saling bergelantungan di sepasang dua pelupuk matanya. Mengapa dia memilih Blora? Sebuah kota mati yang gaungnya tak pernah terbunyi. Andai saja diperjelas kepada seseorang yang awam untuk menggambarkan atau menjelaskan dimana letak Kota Mati ini, paling-paling jawaban penjelasnya “kamu tahu Cepu ndak? Cepu yang direbutkan oleh EXXON MOBILE dari Amerika itu adalah kecamatan dari kota Blora”.
“Assalamualaikum…” ucap salam Wawan pemuda tanggung yang lari dari kota kelahirannya untuk mencari sebuah mimpi yang tak juga terbeli di kota sebelah. Yang kali ini dia musti balik kampung untuk sekedar liburan atau mungkin ingin melepas kepenatan selama dia mengejar mimpinya itu.
“Waalaikumsalam…” sahut wanita tua dari bilik bagian belakang yang tak lain adalah ibunya.
Drama pun dimulai, tanpa ada aba-aba dari sang sutradara untuk memulai aktingnya Wawan langsung menyambar tangan kanan ibunya untuk dijabat dan diciuminya.
Panas matahari menggeliat di atas ubun seolah meluluhkan tubuh gontai yang semakin lunglai. Perjalanan tiga jam yang penuh dengan hambatan jalan berlubang, dari Grobogan hingga desa Taman sebelah barat Kota Tanpa Tuan. Pembangunan dan perbaikan yang tak pernah maksimal. Entah apa dan siapa gerangan kiranya tak henti menipu amanat Tuhan.
“es degan le..” perhatian ibu terhadap anak laki-laki satu-satunya yang diharap bisa menjadi orang yang berhasil kelak. Paling tidak harus bisa “mikul dhuwur, mendhem jero.” suatu istilah orang jawa yang sering dinasehatkan kepada putranya.
“nggih buk, matur suwun.”
“gimana kuliahmu? Lancar to? Pesene ibumu iki harus diingat-ingat baik-baik.” pesan seorang ibu yang sering diwanti-wantikan kepada ahmad.
“tidak perlu ikut-ikutan demo, pengajian yang tidak-tidak, apa lagi sekarang banyak mahasiswa-mahasiswa yang jadi korbannya. Kaya berita kemarin di teve, dari kampusmu kan yang tertangkap itu? Pokoknya ibu ndak suka kalau kamu sampai kaya gitu. Kamu juga harus pinter-pinter juga cari teman.”
“nggih buk, saya ndak pernah ikut kaya gituan. Niat saya kuliah ya kuliah, ndak pernah ada niatan yang lain.” Jawab Wawan kalem kepada kekhawatiran ibunya yang dirasa sangat wajar.
“ya sudah kalo begitu, ibu takut kamu jadi berubah, malu sama tetangga. O ya, ini hari kamis, nanti sore jangan lupa ke makam ayahmu lho. Sudah lama kamu tidak membersihkan makamnya.”
“ya bu, minta doanya saja di setiap habis sholat. Biar anakmu ini jadi anak yang berhasil seperti yang ibu harapkan. Insyaallah nanti sore aku ke makam, aku juga sudah kangen e buk.”

Seperti sudah menjadi rutinitas Wawan setiap pulang ke Blora untuk mengunjungi pondok dengan surau kecil yang namanya masih belum menggema di kotanya, meski sudah terkenal di desanya. Entah untuk sekedar melepas rasa kangen dengan teman-teman ngajinya dulu atau ingin curhat dengan Pak Muthohar pemimpin pondok itu.
“eh Fa, kabare Wawan dulu gimana? Kok sudah lama dia ndak pulang, apa sudah lupa kampung halamannya ya?” Tanya Heri salah seorang teman akrab Wawan yang sangat aktif mengikuti simakan kitab di pondok.
“yo ndak gitu Her, tadi malam saja dia masih sms an sama saya kok, puisinya itu lho membuat aku bingung jawabinya. Mungkin saja dia lagi banyak tugas, maklum lah mahasiwa.”
“weh hyo ding, sekarang dia sudah jadi mahasiwa, mahasiwa atau mahasiswa to? lak pinter demo cah.” Banyol Heri menanggapi jawaban Faiz.
“hahaha…” sontak tawa mereka yang ada dalam mushala geli dengan tanggapan Heri.
“eh kayaknya tadi aku lihat mas Wawan dari pesarean deh. Naik mio merahnya itu..” Timpal Mboden adik sepupu Wawan yang dari tadi ingin ikutan ngobrol.
“apa iya? Kok tadi malam ndak ngasih kabar ya?” Jawab Faiz yang seolah tak percaya ucapan Mboden.
“wah… biasanya ada traktiran nih hahaha…” sahut Heri.
“assalamualaikum…” tiba-tiba Wawan muncul dari depan pintu mengagetkan teman-temannya yang dari tadi membicarakannya.
“waalaikumsalam…” serentak mereka menjawab ucapan salam ahmad.
“wah panajang umur kamu kang! Baru saja kita rasani. Eeee … tau-taunya sudah hadir di sini. Marhaban bika ya akhi, mari sini masuk!” sambut hangat Imam teman ngaji Wawan yang bisa dibilang pendiam tapi sangat kritis dalam berbagai hukum islam.
“nyampe sini jam berapa Wan? Tanya Faiz.
“hmm… benar kan, tadi mas Wawan tenan yang kulihat pas berhenti di perempatan bangjo. Dari makam tadi ya mas?” sahut Mboden menguatkan pernyataannya tadi.
“bentar-bentar, ada yang mau menanyakannya lagi ndak sebelum aku ganti ngomong? Kayak orang penting yang diwawancarai wae cah, hmm… ” kelakar Wawan.
“guayamu!!!!” serentak heri dan faiz menampik kelakar Wawan.
“lha gimana lagi to kang? Masak baru datang masuk aja belum sudah di cerca berjuta tanya. Emangnya aku ini anggota dewan senayan apa? Haha…”
“sudah-sudah sini duduk dulu! Gimana kabarmu sehat tho? Kukira sudah lupa sama kita-kita.” Imam mencoba meredakan banyolan yang lain.
“alhamdulillah sehat Mam, ya ndak pernah aku bisa melupakan kalian… sempeyan-sampeyan semua ini kan sahabat terbaik yang pernah kumiliki dan sampai sekarang masih kumiliki!! Sulit lho kang mencari sahabat seperti sampeyan semua ini.” Jawab Wawan memuji seperti orang yang sangat kangen pada sesuatu.
“ah apa benar itu kang? Kalo gitu harusnya traktir mie ayamnya pak Gik noh hahaha…” sahut Heri yang suka membanyol kembali meriuhkan suasana malam yang semakin larut tanpa ditemani purnama yang telah lewat masa.
Malam yang penuh canda dan penuh rasa peresaudaraan yang mungkin hingga suatu masa datang tuk memisahkannya, atau akan tetap abadi seabadi mimpi yang selalu hadir di setiap lelap tidur malam hari di setiap manusia walaupun telah berganti generasi.

“loh Wan kapan tiba di rumah? Kok lama ndak kelihatan” sambut Pak Muthohar menanyakan kabar dari kang Wawan setelah menjawab salam dan mempersilakannya duduk.
Tersenyum Wawan sedikit malu untuk menjawab perhatian Guru ngajinya yang ternyata selama ini juga tertuju padanya.
“tadi siang Pak sekitar jam satu.”
“bagaimana kabarnya Pak? Ibu dan lare-lare sehat semua kan? Jadi kangen saya e Pak, lama ndak merasakan hawa yang seperti ini.”
“Alhamdulillah sehat semua, lha kamu sendiri bagaimana? Ndak pernah ada kabar, lancar kan kuliahmu? Mbok sekali-kali kasih kabar gitu lho! Kan bisa lewat telpon atau sms!”
“hehe… enggih Pak, lha saya sungkan mau sms bagaimana e pak, takut ganggu.”
Pembicaraan pun berlanjut, diselingi menikmati teh hangat dan biscuit Roma yang sengaja disiapkan untuk menghormati tamu. Memang hal itu merupakan kebiasaan Kiyai Muthohar untuk menghormati tamu yang berkunjung ke rumahnya, tak peduli seberapa penting atau tidaknya tamu itu pasti terdapat sajian yang tersedia di meja tamu.


Sesekali Nayla dan Farihah putri kedua dan ketiga pasangan Muthohar dan Rofiah ini bertanya tentang tugas sekolah yang dirasa sulit atau belum dimengerti. Heri yang diajak Wawan menemaninya sowan ke guru ngajinya pun dengan senang mengajari Nayla dan Farihah. Tak hayal mereka berdua cukup dekat dengan Wawan dan santri-santri yang lain karna para santri ini telah dianggap seperti kakak-kakanya sendiri yang selalu siap membantu bahkan kepentingan keluarga Pak Muthohar.

“begini Pak..” Wawan mulai membicarakan permasalahannya yang sebenarnya sejak dari tadi ingin disampaikan
“saya itu di sana sepertinya ndak merasa nyaman kalau urusan ibadah dan urusan agama yang lain e Pak.”
“lha emangnya kenapa Wan” Pak Thohar coba menanggapi.
“lha anu e Pak, cara beribadahnya itu lho saya ndak sreg. Banyak yang ndak memenuhi syarat rukunnya sholat pak, apa memang belum tahu hukumnya ya?”
“ya kamu kalau tahu harusnya memberi tahu noh!” jawab Pak Thohar tenang.
“sudah Pak, tapi ya itu.. malah bawaannya mereka ngajak debat Pak, sudah tak kasih tahu pendapat saya ya tetap saja ndak mau menerima. Sepertinya itu kayak merasa benar sendiri gitu lho Pak.”
“yen seperti itu ya sudah, ndak perlu di gugat lagi.. ndak baik berbantah-bantahan. Memang antara madzhab satu dengan madzhab lainnya itu berbeda, namun perbedaannya itu bukan ditujukan untuk menang sendiri tapi untuk saling melengkapi.”
Sebentar Pak Muthohar menghentikan pembicaraan sembari meminum the hangat cap Dandhang khas kota Blora lalu melanjutkan pembicaraannya.

”begini lho Wan, kita dalam lingkup pesantren ini diajarkan untuk menganut salah satu madzhab dari empat madzhab, ada banyak kok jalan untuk menujuNya. Misalkan mau ke Jakarta, bisa lewat jalur Pantura, jalur selatan, lewat Cengkareng, Cikampek, atau mana saja. Yang penting kan tujuannya satu yaitu Jakarta to? Dan misal lewat berbagai jalan itu pasti sampai kalau lancar ndak macet. Tergantung pilihan orang sukanya pilih lewat jalan yang mana itu hak mereka kita ndak usah menyalahkannya, toh tujuannya sama kan?”
Wawan hanya terdiam dan mengangguk-angguk menandakan kefahamannya. Begitu juga dengan Heri yang dari tadi mengajari Farihah tugas rumah matematika yang belum selesai.

“untuk masalah berbantah-bantahan..” lanjut Pak Muthohar, “ilmu itu bukan untuk berbantah-bantahan, tapi untuk di amalkan. Al ilmu lil ‘amal la lil jiddal begitu dawuh almarhum KH. Ahsan Sholih berpesan kepada saya waktu dulu. Misalkan kamu di ajak debat, biarkan saja lah, ndak ada gunanya itu. Yang terpenting dirimu sendiri mampu melaksanakan dari apa yang telah kamu pelajari di sini dulu itu secara istiqomah sudah baik, sukur-sukur bisa di amalkan dan di ajarkan kepada yang lain, tambah lebih bermanfaat itu.”

“nggih pak, semoga saja saya mampu mengamalkan seperti apa yang telah panjenengan ajarkan dulu dan bisa istiqomah dalam menjalaninya.” Jawab takdim Wawan mencoba meyakinkan guru ngajinya yang telah mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu agama selama lebih dari enam tahun dan tanpa meminta sekeping imbalan apapun.

Heri yang sedari tadi turut mendengarkan pembicaraan guru dan murid mencoba memberi tanda mengedipkan mata kepada wawan akan waktu yang menjadi penghalang. Juga dimaksudkan untuk menyudahi pembicaraan untuk menghormati waktu sang Kiyai yang baru pulang jam setengah Sembilan dari suatu undangan hajatan, hingga rutinitas simakan kitab tafsir munir sehabis sholat isyak terpaksa ditinggalkan.
Malam pun semakin larut, bersahutan musik ala jangkrik, kodok, beluk, dan lolongan kirik. Menambah kuat eksistensi keperkasaan malam yang pekat. Dingin menyeruak hembusan angin bukit membisikkan lirih rahasia-rahasia kehidupan. Entah di suatu ketika terbongkarlah kebiadaban zaman oleh penghuni-penghuninya sendiri. Diterbangkan hayal menyusuri indahnya mimpi, semua merasa yang paling hakiki. Menjadi paling benar sendiri tanpa menghiraukan adanya pemilik kebenaran sejati.

2 komentar:

  1. logat'y kog gk 'mBlora'ni....?
    Pwd bgt kwi Mas Bro....
    tp ttp ok dech......

    BalasHapus
  2. udah kecampuran solo pak, jadine gk mblorani lg haha...
    ada blog jg kah pak?

    BalasHapus

MARI BERSAMA GURATKAN KATA UNTUK MENGUBAH DUNIA
free counters

Total Tayangan