ketika taraf menjadi tarif

Melebihi dugaan sebelumnya oleh para pemerhati pendidikan di Indonesia, crisis pendidikan yang mendera indonesia saat ini terbilang cukup pelik. Crisis ini begitu luas cakupannya, yang tidak hanya menjadi problematika pemerintah, namun juga masyarakat miskin indonesia yang menjadi korbannya. Pendidikan bagi kalangan masyarakat ekonomi rendah terasa sangat mahal. Ditambah dengan adanya pemberian kewenangan oleh pemerintah bagi sekolah-sekolah bertaraf tertentu untuk mengkomersilkan sekolahnya.
Sekitar dua tahun yang lalu pemerintah indonesia melalui kementrian pendidikan nacional mulai merilis sekolah berstandar nasional dan internasional di tingkat SMP dan SMA. Program baru ini sangat menarik antusias sekolah-sekolah yang notabene sudah merupakan sekolah favorit di setiap kabupaten kota. Berbondong-bondong sekolah-sekolah tersebut untuk melamar mendaftarkan diri untuk bisa menyabet predikat glamour tersebut “Sekolah Bertaraf Internasional”. Berbagai upaya dilakukan oleh berbagai sekolah tersebut mulai dari pembenahan kualitas pembelajaran, pengajaran, hingga perombakan kualitas gedung dan berbagai fasilitasnya meski terkesan terlalu dipaksakan. Hal tersebut dilakukan oleh berbagai sekolah yang sangat ngebet sekali dengan embel-embel tersebut sebagai salah satu syaratnya.
Pemerintah memberikan hak istimewa bagi setiap sekolah yang bertaraf internacional unutk mematok tarif yang tinggi sesuai kebutuhan sekolah tersebut. Usaha peningkatan taraf sekolah ini seharusnya mampu meningkatkan pula kualitas atau mutu pendidikan. Bukan sebaliknya malah menjadi momok menakutkan bagi orang tua calon siswa yang akan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah favorit tersebut. Hal semacam ini menurut pemerhati pendidikan di indonesia dianggap sebagai jurang pemisah yang sangat nyata bagi masyarakat miskin dan kaya dalam memperoleh mutu pendidikan yang layak dan sesuai di negeri ini. Impian pemerintah kerap kali sangat kontras dengan apa yang selama ini menjadi impian rakyatnya.
Bertolak belakang dengan gebrakan yang dilakukan oleh pemerintah yang terlihat agak sedikit “lebay”, sebagian besar masyarakat Indonesia yang berpenghasilan menengah kebawah merasa sangat disulitkan dengan adanya program ini untuk memperoleh pendidikan bagi anaknya. Meski pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah juga mencanangkan program sekolah gratis untuk pendidikan wajib sembilan tahun, namun masi hada saja berbagai alasan pihak sekolah untuk meminta pungutan dari orang tua peserta didik. Pungutan-pungutan yang sangat tidak wajar seringkali menjadi perdebatan dalam rapat dengan wali murid yang ujung-ujungnya wali murid lah yang harus mengalah agar bisa mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah di sekolah tersebut.
Ketika taraf peningkatan mutu pendidikan di indonesia menjadi patokan untuk melambungkan tarif pendidikan, merupakan suatu hal yang sangat ironi. Melihat kondisi masyarakat indonesia yang menurut data LSM lebih dari 30% penduduk indonesia berada pada garis bawah kemiskinan. Hal ini diperparah dengan adanya fakta lebih dari tiga juta jiwa penduduk indonesia belum bisa mendapatkan kesmpatan untuk mengenyam pendidikan. Mungkinkah penduduk indonesia akan semakin terpuruk di negerinya sendiri yang konon katanya sangat kaya raya ini?
MARI BERSAMA GURATKAN KATA UNTUK MENGUBAH DUNIA
free counters

Total Tayangan