Desember Bercerita

“Minggu pertama”
Desember, berbagai kisah serasa dikumpulkan di penghujung tahun ini. Minggu pertama yang cukup damai, bercampur resah menyelimuti. Aktivitas begitu padat hingga tak sempat tidur siang untuk menghimpun tenaga begadang melototi tv menyaksikan piala dunia dimana Indonesia juga ikut berkompetisi sebagai pesertanya.

Brr.. brr… brr… getar ponsel tanda sms masuk. Kubuka dengan cepat “cklik”
“wuh sms dari Amira” sontak hatiku senang, karena sudah begitu lama tak ada kabar darinya. Sms-an pun berlanjut, membahas peluang timnas Indonesia menghadapi lawan-lawan tangguh di pentas dunia. Tapi ampun bro… English language punya dia pakai tuk bercakap sms denganku. Tak habis fikir, terpaksa dengan bantuan mbah google terjemah ku pakai tuk mentranslate-kan balasanku.

Sejak kepelatihan Alferd Riedl timnas Indonesia mampu mengepakkan sayap garudanya hingga dapat mengalahkan juara dunia tahun 1998 Prancis di putaran pertama piala dunia. “sungguh ajib…”
Sms-an diakhiri dengan puisi sebagai mantra penghantar tidur dariku, dan Amira pun tak mau kalah membuktikan kepiawaiannya merangkai kata sebagai mahasiswa sastra membalas mantraku.
Hmm… Amira, begitu misterius teman satuku ini.

“Minggu kedua”
Diawali dengan berbagai jenis kegiatan lomba antar bidang organisasi di kampusku. Meski aku juga berpartisipasi dalam salah satu lomba, tapi aku tak peduli siapa pemenangnya, dan kuputuskan untuk pulang terlebih dahulu sebelum lombanya usai. Minggu malam senin, selepas menikmati permainan cantik timana Indonesia melibas Jerman dengan skor 3-1, Semakin menambah semangat untuk mengerjakan tugas yang menumpuk. Kalkulus, geometri hmm… lumayan rumit juga, cukup berat untuk menambah beban di kepalaku hingga dapat nyenyak untuk dipakai tidur. Eits… tapi tunggu dulu… rasanya kurang afdhol jika belum menebar ucapan mantra-mantra penghantar tidur kepada adek-adekku.

“cklik…” kirim ke banyak. “messages successful delivered.” Begitu kalimat yang tertera pada layar ponselku. Dan beberapa saat, balasan sms dari adek-adekku bergantian masuk.

“brr… brr… brr…” dering ponselku. Ada yang membalas ucapan terimakasih dan responnya biasa saja, ada yang tak membalas, tapi ada juga satu adekku yang membalas dengan syair mantra yang membuatku tertarik untuk membals dengan syair mantra yang lebih indah lagi. Perang kata berlangsung cukup lama. Hingga terpaksa bendera putih kukibarkan pertanda menyerah karena sudah terlampau larut malam dan mataku sudah tak kuat untuk sekedar melihat tulisan. Tak ada serangan kata balik yang ku balaskan hingga kemenangan 1-0 bagi adekku satu ini.

Setelah tidur lebih kurang 3 jam, tepat pukul 3 pagi aku terbangun karrena alarm ponselku yang sengaja ku stel dengan niatan akan makan sahur. Tapi apa daya, rasa sakit begitu keras melilit perutku. Tak henti-henti aku keluar masuk toiet. Diare, argh… betapa sakitnya. Habis makan apa aku kemarin, Tanya batinku. Ditambah maghku kambuh lagi.

Jam 6 pagi, dengan perhatian dan kebaikan kakakku, aku diantar berobat ke dokter. Alamak… disuntik lagi hmm… pil, kapsul tak lupa pula menyertai. Seharian istirahat, tak kuat menegakkan badan. Setelah kuingat-ingat ternyata penyebab sakitku ini karena kemarin tak sengaja memakan buah nangka yang dimasak pada perlombaan di kampusku kemarin. Langsung kusahut ponselku, kukirim sms ke salah satu temanku yang ikut lomba kemarin.

“Hey… masakanmu kemarin kau beri apa? Sekarang kog aku taj juat apa-apa!”
Brr… balasan sms dari temanku
“aku beri racun hehe… emang kenapa mas?”
“wah parah nih, jika racun yang kau beri adalah racun cintamu sih taka pa, tapi nie perutku yang jadi korbannya… sudah 7x aku keluar masuk toilet, kemarin masakanmu kau campuri nangka ya?” message sent.

Brr…”heh!!! Dasar kamu ini mas ada-ada saja, nggak kog, masakanku kemarin gak ada nangkanya. Lha kemarin masakan muter-muter ke kelompok lain mencicipi masakan mereka juga, sapa tau dari mereka ada campuran nangkanya!”
Logat khas dari Aninda mengeluarkan statement pembelaan.
Hmm… ternyata benar juga katanya, aku kemarin memang mencicipi masakan dari kelompok lain yang ternyata ada yang menggunakan bahan dasar dari buah nangka.

“kamis 16 desember”
Malamnya, hari rabu jam 19.00 selepas magribh, aku merenung memusatkan fikiran untuk merangkai kata demi kata untuk terbentuk menjadi puisi sekaligus doa kepada temanku Amira yang jauh di mata. Dalam larik sajak tersebut aku akhiri dengan ucapan “selamat ulang tahun kawan”. Message sent. Laporan pengiriman tertera pada layar ponsel.

Brr… balasan yang kutunggu dating juga meski agak lama. Dengan kalimat yang sangat ringkas, padat, jelas dan tak berputar-putar. “Terima kasih kawan ”. Dengan symbol emoticon senyum yang cukup pahit bagiku. Betapa tidak? 3 karakter pesan kukirimkan, 100 x 3 = 300 rupiah pulsa kurelakan, meski terbilang sedikit sih.. ber-jam-jam otak ini kufokuskan untuk merangkaikan puisi dan doa untuknya. Tapi hanya tiga kata saja yang ia balaskan. Hmm.. menghela nafas panjang, masih untung mendapat balasan.
Cukup sudah, telah habis bahasa dalam gudang wacana, telah hilang kata yang kusiapkan tuk melanjutkan perbincangan. Namun, prediksiku meleset 180 derajat bagaikan Indonesia yang ditekuk Italia 2-1 meski Indonesia sudah dipastikan lolos ke perempat final piala dunia.

Siang harinya, ketika berdiskusi dengan teman-temanku sekelas, tiba-tiba ada seorang mahasiswa semester atas menghampiriku mengajak berdua tatap muka seolah ingin berbicara hal penting saja.

“Deg…!!!” detak jantung mengencang, darah naik ke ubun-ubun, mendengar cercaan demi cercaan yang dia lontarkan kepadaku.
“Tuduhan macam apa ini” batinku, tapi kesabaran masih mampu menguasai diri hingga tak terjadi tindakan memalukan seperti ulah supporter Malaysia saat menaklukkan Brazil 3-2 dengan menyoroti para pemain Brazil dengan sinar laser hingga membuyarkan konsentrasi tarian samba ala Richardo Kaka cs.

“minggu ketiga”
Isu tuduhan itu semakin memanas memasuki hari siding reor diadakan.tapi aku sih tenang-tenang saja, toh tak ada bukti yang mampu mereka tunjukkan kepadaku, dan aku juga tak pernah merasa melakukan yang mereka tuduhkan.

“25 desember 2010”
“Libur telah tiba libur telah tiba hore…” teringat lagu anak bersemangat liburan. “Selamat hari Natal buat saudara-saudaraku yang merayakannya!!!”. Meski pernyataan tersebut banyak pandangan yangmengharamkannya, namun aku sebagai umat islam tetap akan mengucapkannya. Disamping terdapat dasar yang cukup kuat dengan bagiku, juga sebagai wujud pluralitas atau kebinekaan dakam beragama, kerukunan, solidaritas serta rasa toleransi anatar umat beragama.


“jam 9 pagi” brr… tiga kali getaran ponselku menerima pesan.
“Posisi.”
“Solo, Karanganyar, eits… tapi nie sapakah? Balasku ke nomor tak dikenal itu.
“Setyo D. ayo ikut siding reor bro!!! bantu kami untuk menyuarakan aspirasi perubahan. Pemikir-pemikir seperti kamu sangat kami butuhkan sekarang bro!!”
Gila… sudah jauh hari aku tak sudi ikut reor yang membosankan itu, tapi kali ini ada teman yang percaya dan membutuhkan pemikiran tajamku “setajam silet” katanya.
Dengan santu kutolak permohonan kawanku itu.
“sory bro” balasku, “baru ada kesibukan di rumah, mana ban motorku gembes lagi, harus ganti ban luar pula lah, dompetku juga kosong lah, wah aku tak bisa membayangkan esok hari tak ada secercah harapan tuk sekedar membeli bensin bro!!”
“Ah payah.,.” balasnya singkat.
Brr… sms masuk, waktu menunjukkan jam 14.30 di layar ponsel. Hmm… mengganggu tidur sangku saja, cklik… wush… ada apa lagi sobat satuku ini.
“bro… tolonglah bro… kami benar-benar membutuhkan bantuanmu, suaramu sangat kami butuhkan!”

Yah ini lagi… serius amat bahasanya, kayak sedang memikirkan Negara saja.
Akhirnya dengan berat hati, kuputuskan untuk mengabulkan permohonannya, dan siapa tahu aku bisa mengembalikan nama baikku di forum itu nanti.

@kampus 16.15.
“selamat datang bro…”,
“waalaikumsalam mas”,
“akhirnya datang juga kawan” sambut hangat sekelompok kecil mereka yang memperjuangkan perubahan dari system yang eror dan penuh itervrensi atasan ini.
17.00, siding di tunda, istirahat dan dilanjutkan setelah sholat isya’ jam 19..30. begitu keputusan presidium mengetok palu persidangan.
Kesempatan itu kami manfaatkan untuk berdiskusi, memaparkan langkah apa lagi yang harus dilakukan untuk memperjuangkan aspirasi suara yang terpinggirkan.
Usai magrib, aku mampir sejenak ke kost temanku, brr…. Sms masuk, “Astaghfirullah… tuduhan macam apa lagi ini?” darah naik mengalir deras ke kepala, thermometer menunjukkan suhu 39 derajat celcius. Otak memanas. Padahal tak pernah sekalipun ada niatan untuk menjadi orang penting dalam kepengurusan itu, tapi mengapa tuduhan demi tuduhan bergantian datang menyerangku. “Oke” sekarang aku sudah punya cukup bukti untuk mengungkap kebobrokan system permainan mereka.

@19.15 final fighting. Sidang anggaran rumah tangga dimulai. Pasal 2 dibacakan oleh presidium. Tak kuat menahan emosiku, wacana demi wacana ku utarakan, suasana siding semakin memanas melebihi athmosfer panasnya kantor dewan di senayan.
“system macam apa ini yang saudara sandiwarakan?” bentakku mengheningkan ruangan siding.
“perlu microphone mas?” sela teman sampingku.
“Tak perlu mas! Suaraku cukup terdengar nyaring bagi mereka yang tak tuli! Jika paki microphone takutnya kaca ruangan ini pada pecah!” jawabku.
“Apakah memang seperti ini cara saudara mencari pengganti untuk meneruskan kekuasaan saudara? Dengan perbuatan buruk saudara mencari tahu siapa diantara anggota parlemen yang memiliki pandangan buruk terhadap organisasi ini? Tindakan macam apa ini?”
Suasana senyap, sebagian menundukkan kepala dan sebagian lagi menatap pandang ke arahku seolah tak percaya denga sikapku malam itu. Mungkin mereka yang tak percaya tak pernah menyangka bahwa aku memiliki pemiiran kritis dan intelek yang cukup mumpuni.

“Jika saudara sekalian perlu bukti kebenaran dengan statement yang saya ucapkan, saya bisa menghadirkan yang bersangkutan sekarang juga!!! Karena yang bersangkutan juga tengah duduk mengikuti persidangan pada malam ini diantara kita!!”
Senyap beberapa menit, tiba-tiba “tarrr…” gelas di meja konsumsi pecah tanpa sebab.
“astaghfirullah.. kenapa mas bisa pecah?” Tanya salah satu anggota siding.
“Ya, pecahkan saja gelasnya biar ramai!!!” sahutku.
Orang yang dari tadi kusindir kemudian angkat bicara
“Mas, anda itu orang organnisasi, harusnya pahamlah vengan system bla bla bla…. “
“hoe bang!” bang Anton medan menyela dengan logat khas medannya.
“Pemikiran harusnya kau lawan dengan pemikiran lah! Jangasn kau langsung kau menjudge orang yang menyampaikan oemikirannya! Kau sendiri orang organisasi, paham tak kau akan arti organisasi? Mana sikap profesionalisme kau punya?”
“Sabar, sabar… tenang , kita di sini adalah satu keluarga besar, kita adalah saudara tak patut kalau kita saling bersi tegang begini…” Akhi Firman mencoba meredakan emosi kami dan mendinginkan suasana.

Sesaat kemudian kami sekelompok kecil walk out meninggalkan persidangan yang penuh kospirasi dan rekayasa ini. Sebelumnya aku sempat berpesan kepada Akhi Firman untuk mengajak pengurus inti untuk berdiskusi denganku setelah persidangan usai.
Tepat jam 22.30 mereka yang kuundang menemuiku, di hadapan mereka aku menyampaikan tentang tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepadaku. Dengan panjang lebar dan permintaan maaf diutarakan oleh ketua umum kepadaku. Serta berjanji akan menindak lanjuti tentang pencemaran nama baik yang dilakukan oleh anak buahnya.
Waktu sudah terlalu larut, pintu gerbang terlanjur dikunci oleh petugas keamanan kampus. Tak pelak aku harus menunggu hingga pagi saat pintu gerbang kembali dibuka. Tak peduli dengan hasil siding reor, siapa pengurus-pengurus yang terpilih, aku mengistirahatkan diri di salah satu ruangan dengan teman-teman lainnya. Sambil sms-an dengan adekku yang juga sedanga mengikuti pelantikan anggota di salah satu UKM kampus.

Pagipun tiba, secercah sinar mentari cukup menerangi kalut hatiku, hangat senyum adekku yang usai acara menemuiku sedikit menghangatkan gigil beku dinginnya pagi ini.

“Minggu keempat”
Indonesia berhasil melaju ke final piala dunia setelah menumbangkan lawan-lawannya. Bahkan juara bertahan Spanyol dipukul telak 4-1 di putaran semi final oleh Indonesia. Final piala dunia mempertemukan Indonesia melawan Malaysia yang berhasil lolos dengan cara-cara kotornya. Pertandingan bersejarah bagi kedua kesebelasan. Namun saying anak asuhan Alferd Riedl, Firman cs terganggu oleh ulah curang supporter Malaysia yang menyorotkan laser ke pemain Indonesia. Skor 0-0 di babak pertama.

Pertandingan kedua baru dimulai 5 menit Markus Horison melakukan protes kepada wasit karena sinar laser yang terus mengganggunya. Akhirnya pertandingan sempat dihentikan beberapa menit. Kemudian setelah terjadi diskusi yang lumayan lama, pertandingan dilanjutkan. Namun entah mengapa sepanjang pertandingan permainan cantik Indonesia menjadi terpuruk. Alhsil pemain Malaysia berhasil membobol gawang Markus 3 kali. Pertandingan berakhir dengan kemenangan Malaysia 3-0. Dan dengan ini Malaysia mampu mengukir sejarah sebagai Negara Asia pertama kali yang mampu menjuarai piala dunia meski dengan kecurangannya.

@31 Desember 2010
Pergantian tahun baru hMm… sms ucapan tahun baru bergantian masuk di ponselku. Namun terasa biasa saja, tak ada yang special. Bunyi terompet menggema, apalagi keponakanku yang sejak habis Isya’ tadi terus meniup terompet dengan teman-temanya di depan rumah. Menganggu saja.
Malam tahun baru di kamar, buka computer, tak ada beda dengan hari biasanya.
Brr… jam 23.45 tertera pada ponsel waktu menunjukkan dan ada satu pesan masuk. Ah paling dari teman-teman yang mengucapkan selamat tahun baru.
Ku buka dengan sedikit agak malas pesan itu. “Deg…” ternyata hehe… senyum mengembang di bibirku.

From Amira: “selamat tahun baru ya dris… semoga di tahun baru ini kita dapat menjalani takdir yang baru dengan baik dan dapat menaklukkan semua tantangan yang baru pula. Maaf idris.. lama nggak kasih kabar dan smsan. Karna nie aku baru sibuk mengerjakan skripsi agar dapat selesai tepat waktu dan denga hasil yang memuaskan ^_^ “
Hari itu, adalalah hari peristiwa bersejarah bagi kami setelah empat tahun berkutat dengan bangku pena dan buku. Momen yang sangat diimpi-impikan oleh semua mahasiswa 'wisuda'. Sejak pagi hari semua mahasiswa yang mengikuti acara tersebut dan telah siap tuk diwisuda telah menjejali ruang utama auditorium universitas yang mampu menampung seribu orang. Rombongan pendamping dari orang tua dan saudara-saudara mahasiswapun ikut menambah sesak pengap udara di ruangan itu.

Jauh sebelum hari besar itu, kami teman sekelas telah merencanakan untuk dapat duduk bersama di suatu sudut ruangan agar dapat menceritakan kebahagiaannya masing-masing. Tio yang menjadi ketua kelas kami langsung memboking 24 kursi agar tak ditempati oleh mahasiswa lainnya.

Kang Wawan

Kepulangannya kali ini agaknya ada sesuatu yang mengganjal difikirannya. Hal itu terlihat dari raut mukanya yang seperti memikul beban berat dan ingin segera untuk diletakkan atau mungkin dia pulang untuk meminta bantuan seseorang untuk melepaskan beban yang menggantung dan saling bergelantungan di sepasang dua pelupuk matanya. Mengapa dia memilih Blora? Sebuah kota mati yang gaungnya tak pernah terbunyi. Andai saja diperjelas kepada seseorang yang awam untuk menggambarkan atau menjelaskan dimana letak Kota Mati ini, paling-paling jawaban penjelasnya “kamu tahu Cepu ndak? Cepu yang direbutkan oleh EXXON MOBILE dari Amerika itu adalah kecamatan dari kota Blora”.
“Assalamualaikum…” ucap salam Wawan pemuda tanggung yang lari dari kota kelahirannya untuk mencari sebuah mimpi yang tak juga terbeli di kota sebelah. Yang kali ini dia musti balik kampung untuk sekedar liburan atau mungkin ingin melepas kepenatan selama dia mengejar mimpinya itu.
“Waalaikumsalam…” sahut wanita tua dari bilik bagian belakang yang tak lain adalah ibunya.
Drama pun dimulai, tanpa ada aba-aba dari sang sutradara untuk memulai aktingnya Wawan langsung menyambar tangan kanan ibunya untuk dijabat dan diciuminya.
Panas matahari menggeliat di atas ubun seolah meluluhkan tubuh gontai yang semakin lunglai. Perjalanan tiga jam yang penuh dengan hambatan jalan berlubang, dari Grobogan hingga desa Taman sebelah barat Kota Tanpa Tuan. Pembangunan dan perbaikan yang tak pernah maksimal. Entah apa dan siapa gerangan kiranya tak henti menipu amanat Tuhan.
“es degan le..” perhatian ibu terhadap anak laki-laki satu-satunya yang diharap bisa menjadi orang yang berhasil kelak. Paling tidak harus bisa “mikul dhuwur, mendhem jero.” suatu istilah orang jawa yang sering dinasehatkan kepada putranya.
“nggih buk, matur suwun.”
“gimana kuliahmu? Lancar to? Pesene ibumu iki harus diingat-ingat baik-baik.” pesan seorang ibu yang sering diwanti-wantikan kepada ahmad.
“tidak perlu ikut-ikutan demo, pengajian yang tidak-tidak, apa lagi sekarang banyak mahasiswa-mahasiswa yang jadi korbannya. Kaya berita kemarin di teve, dari kampusmu kan yang tertangkap itu? Pokoknya ibu ndak suka kalau kamu sampai kaya gitu. Kamu juga harus pinter-pinter juga cari teman.”
“nggih buk, saya ndak pernah ikut kaya gituan. Niat saya kuliah ya kuliah, ndak pernah ada niatan yang lain.” Jawab Wawan kalem kepada kekhawatiran ibunya yang dirasa sangat wajar.
“ya sudah kalo begitu, ibu takut kamu jadi berubah, malu sama tetangga. O ya, ini hari kamis, nanti sore jangan lupa ke makam ayahmu lho. Sudah lama kamu tidak membersihkan makamnya.”
“ya bu, minta doanya saja di setiap habis sholat. Biar anakmu ini jadi anak yang berhasil seperti yang ibu harapkan. Insyaallah nanti sore aku ke makam, aku juga sudah kangen e buk.”

Seperti sudah menjadi rutinitas Wawan setiap pulang ke Blora untuk mengunjungi pondok dengan surau kecil yang namanya masih belum menggema di kotanya, meski sudah terkenal di desanya. Entah untuk sekedar melepas rasa kangen dengan teman-teman ngajinya dulu atau ingin curhat dengan Pak Muthohar pemimpin pondok itu.
“eh Fa, kabare Wawan dulu gimana? Kok sudah lama dia ndak pulang, apa sudah lupa kampung halamannya ya?” Tanya Heri salah seorang teman akrab Wawan yang sangat aktif mengikuti simakan kitab di pondok.
“yo ndak gitu Her, tadi malam saja dia masih sms an sama saya kok, puisinya itu lho membuat aku bingung jawabinya. Mungkin saja dia lagi banyak tugas, maklum lah mahasiwa.”
“weh hyo ding, sekarang dia sudah jadi mahasiwa, mahasiwa atau mahasiswa to? lak pinter demo cah.” Banyol Heri menanggapi jawaban Faiz.
“hahaha…” sontak tawa mereka yang ada dalam mushala geli dengan tanggapan Heri.
“eh kayaknya tadi aku lihat mas Wawan dari pesarean deh. Naik mio merahnya itu..” Timpal Mboden adik sepupu Wawan yang dari tadi ingin ikutan ngobrol.
“apa iya? Kok tadi malam ndak ngasih kabar ya?” Jawab Faiz yang seolah tak percaya ucapan Mboden.
“wah… biasanya ada traktiran nih hahaha…” sahut Heri.
“assalamualaikum…” tiba-tiba Wawan muncul dari depan pintu mengagetkan teman-temannya yang dari tadi membicarakannya.
“waalaikumsalam…” serentak mereka menjawab ucapan salam ahmad.
“wah panajang umur kamu kang! Baru saja kita rasani. Eeee … tau-taunya sudah hadir di sini. Marhaban bika ya akhi, mari sini masuk!” sambut hangat Imam teman ngaji Wawan yang bisa dibilang pendiam tapi sangat kritis dalam berbagai hukum islam.
“nyampe sini jam berapa Wan? Tanya Faiz.
“hmm… benar kan, tadi mas Wawan tenan yang kulihat pas berhenti di perempatan bangjo. Dari makam tadi ya mas?” sahut Mboden menguatkan pernyataannya tadi.
“bentar-bentar, ada yang mau menanyakannya lagi ndak sebelum aku ganti ngomong? Kayak orang penting yang diwawancarai wae cah, hmm… ” kelakar Wawan.
“guayamu!!!!” serentak heri dan faiz menampik kelakar Wawan.
“lha gimana lagi to kang? Masak baru datang masuk aja belum sudah di cerca berjuta tanya. Emangnya aku ini anggota dewan senayan apa? Haha…”
“sudah-sudah sini duduk dulu! Gimana kabarmu sehat tho? Kukira sudah lupa sama kita-kita.” Imam mencoba meredakan banyolan yang lain.
“alhamdulillah sehat Mam, ya ndak pernah aku bisa melupakan kalian… sempeyan-sampeyan semua ini kan sahabat terbaik yang pernah kumiliki dan sampai sekarang masih kumiliki!! Sulit lho kang mencari sahabat seperti sampeyan semua ini.” Jawab Wawan memuji seperti orang yang sangat kangen pada sesuatu.
“ah apa benar itu kang? Kalo gitu harusnya traktir mie ayamnya pak Gik noh hahaha…” sahut Heri yang suka membanyol kembali meriuhkan suasana malam yang semakin larut tanpa ditemani purnama yang telah lewat masa.
Malam yang penuh canda dan penuh rasa peresaudaraan yang mungkin hingga suatu masa datang tuk memisahkannya, atau akan tetap abadi seabadi mimpi yang selalu hadir di setiap lelap tidur malam hari di setiap manusia walaupun telah berganti generasi.

“loh Wan kapan tiba di rumah? Kok lama ndak kelihatan” sambut Pak Muthohar menanyakan kabar dari kang Wawan setelah menjawab salam dan mempersilakannya duduk.
Tersenyum Wawan sedikit malu untuk menjawab perhatian Guru ngajinya yang ternyata selama ini juga tertuju padanya.
“tadi siang Pak sekitar jam satu.”
“bagaimana kabarnya Pak? Ibu dan lare-lare sehat semua kan? Jadi kangen saya e Pak, lama ndak merasakan hawa yang seperti ini.”
“Alhamdulillah sehat semua, lha kamu sendiri bagaimana? Ndak pernah ada kabar, lancar kan kuliahmu? Mbok sekali-kali kasih kabar gitu lho! Kan bisa lewat telpon atau sms!”
“hehe… enggih Pak, lha saya sungkan mau sms bagaimana e pak, takut ganggu.”
Pembicaraan pun berlanjut, diselingi menikmati teh hangat dan biscuit Roma yang sengaja disiapkan untuk menghormati tamu. Memang hal itu merupakan kebiasaan Kiyai Muthohar untuk menghormati tamu yang berkunjung ke rumahnya, tak peduli seberapa penting atau tidaknya tamu itu pasti terdapat sajian yang tersedia di meja tamu.


Sesekali Nayla dan Farihah putri kedua dan ketiga pasangan Muthohar dan Rofiah ini bertanya tentang tugas sekolah yang dirasa sulit atau belum dimengerti. Heri yang diajak Wawan menemaninya sowan ke guru ngajinya pun dengan senang mengajari Nayla dan Farihah. Tak hayal mereka berdua cukup dekat dengan Wawan dan santri-santri yang lain karna para santri ini telah dianggap seperti kakak-kakanya sendiri yang selalu siap membantu bahkan kepentingan keluarga Pak Muthohar.

“begini Pak..” Wawan mulai membicarakan permasalahannya yang sebenarnya sejak dari tadi ingin disampaikan
“saya itu di sana sepertinya ndak merasa nyaman kalau urusan ibadah dan urusan agama yang lain e Pak.”
“lha emangnya kenapa Wan” Pak Thohar coba menanggapi.
“lha anu e Pak, cara beribadahnya itu lho saya ndak sreg. Banyak yang ndak memenuhi syarat rukunnya sholat pak, apa memang belum tahu hukumnya ya?”
“ya kamu kalau tahu harusnya memberi tahu noh!” jawab Pak Thohar tenang.
“sudah Pak, tapi ya itu.. malah bawaannya mereka ngajak debat Pak, sudah tak kasih tahu pendapat saya ya tetap saja ndak mau menerima. Sepertinya itu kayak merasa benar sendiri gitu lho Pak.”
“yen seperti itu ya sudah, ndak perlu di gugat lagi.. ndak baik berbantah-bantahan. Memang antara madzhab satu dengan madzhab lainnya itu berbeda, namun perbedaannya itu bukan ditujukan untuk menang sendiri tapi untuk saling melengkapi.”
Sebentar Pak Muthohar menghentikan pembicaraan sembari meminum the hangat cap Dandhang khas kota Blora lalu melanjutkan pembicaraannya.

”begini lho Wan, kita dalam lingkup pesantren ini diajarkan untuk menganut salah satu madzhab dari empat madzhab, ada banyak kok jalan untuk menujuNya. Misalkan mau ke Jakarta, bisa lewat jalur Pantura, jalur selatan, lewat Cengkareng, Cikampek, atau mana saja. Yang penting kan tujuannya satu yaitu Jakarta to? Dan misal lewat berbagai jalan itu pasti sampai kalau lancar ndak macet. Tergantung pilihan orang sukanya pilih lewat jalan yang mana itu hak mereka kita ndak usah menyalahkannya, toh tujuannya sama kan?”
Wawan hanya terdiam dan mengangguk-angguk menandakan kefahamannya. Begitu juga dengan Heri yang dari tadi mengajari Farihah tugas rumah matematika yang belum selesai.

“untuk masalah berbantah-bantahan..” lanjut Pak Muthohar, “ilmu itu bukan untuk berbantah-bantahan, tapi untuk di amalkan. Al ilmu lil ‘amal la lil jiddal begitu dawuh almarhum KH. Ahsan Sholih berpesan kepada saya waktu dulu. Misalkan kamu di ajak debat, biarkan saja lah, ndak ada gunanya itu. Yang terpenting dirimu sendiri mampu melaksanakan dari apa yang telah kamu pelajari di sini dulu itu secara istiqomah sudah baik, sukur-sukur bisa di amalkan dan di ajarkan kepada yang lain, tambah lebih bermanfaat itu.”

“nggih pak, semoga saja saya mampu mengamalkan seperti apa yang telah panjenengan ajarkan dulu dan bisa istiqomah dalam menjalaninya.” Jawab takdim Wawan mencoba meyakinkan guru ngajinya yang telah mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu agama selama lebih dari enam tahun dan tanpa meminta sekeping imbalan apapun.

Heri yang sedari tadi turut mendengarkan pembicaraan guru dan murid mencoba memberi tanda mengedipkan mata kepada wawan akan waktu yang menjadi penghalang. Juga dimaksudkan untuk menyudahi pembicaraan untuk menghormati waktu sang Kiyai yang baru pulang jam setengah Sembilan dari suatu undangan hajatan, hingga rutinitas simakan kitab tafsir munir sehabis sholat isyak terpaksa ditinggalkan.
Malam pun semakin larut, bersahutan musik ala jangkrik, kodok, beluk, dan lolongan kirik. Menambah kuat eksistensi keperkasaan malam yang pekat. Dingin menyeruak hembusan angin bukit membisikkan lirih rahasia-rahasia kehidupan. Entah di suatu ketika terbongkarlah kebiadaban zaman oleh penghuni-penghuninya sendiri. Diterbangkan hayal menyusuri indahnya mimpi, semua merasa yang paling hakiki. Menjadi paling benar sendiri tanpa menghiraukan adanya pemilik kebenaran sejati.

The Square Root of 3



I fear that I will always be

A lonely number like root three



The three is all that’s good and right,

Why must my three keep out of sight

Beneath the vicious square root sign,

I wish instead I were a nine



For nine could thwart this evil trick,

with just some quick arithmetic



I know I’ll never see the sun, as 1.7321

Such is my reality, a sad irrationality



When hark! What is this I see,

Another square root of a three



As quietly co-waltzing by,

Together now we multiply

To form a number we prefer,

Rejoicing as an integer



We break free from our mortal bonds

With the wave of magic wands



Our square root signs become unglued

Your love for me has been renewed .

Renungan Kurban

Hari ini, banyak kusaksikan mereka mencoba meniru Ibrahim dalam membuktikan ketaatan kepada Rabbnya.
Mengalirkan darah hewan seolah-olah telah menjadi kebanggaan bagi mereka.

Tapi bukan, bukan
mereka bukan Ibrahim dengan kedermawanannya
mereka tidak mampu menyamai Ibrahim
yang dengan penuh ketaatan dalam melaksanakan perintah Rabbnya
mereka pula bukan Ibrahim
yang dengan ikhlas mengurbankan putra tercintanya Isma'il

dan,
apa yang mereka kurbankan bukanlah belahan jiwa, anak mereka
seperti Ibrahim terhadap anaknya Isma'il
apa yang mereka kurbankan pun tidak bisa seikhlas Isma'il
ketika menerima tawaran untuk dikurbankan
karna kurban mereka tak lain adalah hewan-hewan
yang tak memiliki fikiran.

Sapi-sapi yang perkasa,
kambing, domba, dan onta
tak lebih hanyalah secuil dari harta yang mereka puja
yang dengan ganas mereka hunus pedang
tepat pada kerongkongan
langsung mengucurkan anyir darah penghapus dosa.

Dengan ikhlas merekapun bergeming penuh harap
agar kurban-kurban mereka mendapatkan ganti pahala
serupa pahala Ibrahim-Isma'il.

Tuhanku, meski belum mampu hambamu ini untuk ikhlas
seperti keikhlasan Ibrahim-Isma'il
meski kurbanku ini tak sebanding dengan kurban kedua nabiku Ibrahim-Isma'il
meski semua memang selalu meski
namun, ikhlasku masih penuh harap hanya kepada-Mu
untuk Kau terima apa yang aku coba ikhlaskan ini.
Hanya prasangka baikku kepad-Mu wahai Tuhanku
yang selalu coba tertanam dalam benakku.

Blora, 10 dzulhijjah 1431

ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat

ssst… jangan berisik,
ada yang sedang seru berdebat

Amira namanya remaja putri berusia dua puluh tahun yang sangat ramah. Mengenakan busana muslimah yang menurutku tidak begitu ekstrim seperti remaja putri binaan di kampusku. Ramah, anggun, santun, tidak pernah membeda-bedakan masalah agama dalam berteman. Banyak teman yang senang bergaul dengannya termasuk juga aku yang bisa begitu cocok pada berbagai pandangan pengetahuan agama. Meskipun Amira dan aku berbeda dari sudut latar belakang yang notabene aku lulusan dari ponpes tradisional dan dia dari ponpes modern namun dalam berbagai hal seperti saling melengkapi satu sama lain.

Meskipun berasal dari latar belakang seorang pesantren namun dia dalam mengamalkan dari apa yang pernah dia pelajari di pesantren tidak pernah terlalu muluk-muluk atau ditonjolkan. Begitu juga dalam mengingatkan temannya yang seagama yang dirasa kurang memenuhi pereaturan agama, dia tidak lantas langsung menegur, namun diberi tahu dengan lembut dan tidak sedikitpun melukai perasaan yang diingatkan tersebut.
“maaf mbak, jilbabnya belum menutupi semua rambutnya mbak!”
Tegur Mira sapaan akrab Amira pada suatu ketika aku melihatnya dibelakang kelas sedang memberi nasehat kepada temannya.

Dia sangat menghormati hak dan pendapat orang lain. Jika teman tersebut memiliki alasan meskipun tidak logis untuk menjawab pertanyaanya, dia tidak lantas langsung menyembur dan menyatakan salah kepada temannya tersebut. Yang selalu menjadi perhatianku dia mau berteman dengan temannya yang beda agama. Sehingga meskipun dia berjilbab, temannya yang berbeda agama tersebut tidak pernah sungkan untuk bergaul, mengobrol, sharing dengannya.
Aku kenal dengannya baru satu setengah tahun belakang ini, saat aku masuk jurusan sastra Inggris sama seperti jurusan yang dia tempuh. Meskipun usianya satu tahun dibawahku namun dia menjadi kakak tengkatku di salah satu perguruan tinggi negeri di jawa tengah namun dia tetap menghormati aku untuk memanggilnya mas, karena dia tahu kalau aku waktu SMA dulu adalah kakak kelasnya. Kadang pula dia memanggilku dengan sebutan “dek” jika sedang becanda dan iseng denganku.



Hal lain yang menjadi perhatianku juga dari teman remaja putri seangkatannya yang menjadi mahasiswa binaan kerohanian islam di kampusku. Mereka memakai baju gamis dengan jilbab yang besar bahkan ada yang memakai cadar seperti adat masyarakat Arab. Namun sayangnya dalam hal amar makruf nahi munkar yang menjadi semangat mereka menegakkan agama islam aku rasa kurang mencerminkan budaya islam yang begitu santun.

Apabila mereka melihat sesuatu yang menurut pemahamannya dianggap munkar, maka tidak segan-segan mereka menegur secara terang-terangan langsung dihadapannya. Ketika melihat teman putri yang biasa mereka panggil atau sebut dengan panggilan ukhti yang kurang rapat jilbabnya sehingga rambutnya terlihat dan yang bercelana ketat mereka pun langsung menegur habis-habisan.
“harusnya tu sebagai akhwat yang muslimah memakai pakaian yang longgar dan jilbabnya juga besar sehingga dapat menutupi bagian atas dari tubuh kita ukhti!!” cerita salah satu temanku yang pernah ditegur oleh mereka.
“ukhti, tahu hukumnya dekat dengan ikhwan yang notabene jelas-jelas bukan muhrim nggak?” tegur salah satu mahasiswi binaan kepada teman seangkatanku pada saat dia memergokinya sedang berduaan dengan teman laki-lakinya.
“itu salah satu jurus ampuh setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang perzinaan ukh!” tambah mahasiswi binaan tersebut.



Tak pelak Amira pun pernah menjadi sasaran teguran oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“ukh, kok temannya banyak yang non islam?” suatu ketika saat Amira sedang berpapasan dengannya.
Sontak Amira kaget dengan teguran kakak tingkatnya tersebut,
“lho maaf mbak, memangnya nggak boleh ya orang muslim berteman dengan orang yang non muslim?”
“bukan begitu ukh, kita harus bisa memilih teman yang baik yang sesuai sareat islam. Ukhti pernah mendengar dalil yang menyatakan ketidakbolehan umat muslim untuk bergaul dengan orang yang non muslim kan?” mahasiswi binaan tersebut mencoba mengertikan maksudnya kepada Amira.
Amira pun hanya mengangguk sekedar mengangguk dan mengucapkan terimakasih karena telah diingatkan lantas pergi meninggalkannya untuk menghindari perdebatan yang tiada guna. Seandainya Amira menghendaki untuk berdebat aku rasa dia sangat mampu, namun bukan itu yang diinginkannya.

Pernah suatu pagi aku ditelpon oleh Amira menanyakan tentang alasan mengapa tauhid merupakan pokok dari agama islam, dan meminta dicarikan dalil dari hal tersebut.
“memangnya untuk apa mir?” tanyaku agak pesimis terhadap pertanyaannya, karna aku tahu sepertinya dia juga tahu jawabannya.
Akhirnya setelah kutanyakan alasan mengapa menanyakan hal tersebut dia menceritakan kejadian yang sebenarnya yang sedang dia alami.
“begini mas, tadi saat saya kegiatan mentoring kakak mentor saya membahas masalah tauhid yang merupakan pokok dari agam islam. Lantas aku bertanya alasan mengapa tauhid menjadi pokok dari agama islam, tapi mbak mentornya malah menjawab “kan ada dalilnya tu dalam Al-quran surat al ikhlas ukh”
Bukankah dalil tersebut merupakan sifat dari Allah dan pengukuhan bahwa Allah itu satu ya kan mas?” seolah dia kurang puas dengan jawaban yang diberikan oleh kakak mentornya. Dan aku mencoba menjelaskan alasan dari pertanyaan yang ditujukan kepada kakak mentornya tersebut.
“lalu dalilnya ada nggak mas?” amira menanyakan kefalidtan dari uraianku.
“sebentar aku cari dulu di kitab Qomi’ Thugyan, nanti kalau sudah ketemu biar aku beri tahu ke kamu lewat sms atau langsung.” Aku mencoba menawar waktu untuk memastikan kefalidtan dari pendapatku.
“terimakasih mas, atas bantuannya. Tadi tu mbak mentornya bersikukuh mengatakan bahwa surat al ikhlas itu dalilnya namun saya masih ragu dengan jawabannya tersebut.” Aku merasakan kecemasannya mulai mereda setelah mendengar jawabanku.
Yang lucu darinya seingatku pada saat dia berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswi binaan dari satu bidang organisasi kampus.
“afwan ukhti Mira ana tadi kurang paham dengan maksud antum.” Tanya seorang dari mereka kepada Amira.
Amira hanya melototkan mata dan diam agaknya kurang mengerti dari bahasa yang digunakan oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“oh afwan, antum bukan mahasiswi binaan ya? Jadi kurang mengerti dengan beberapa kata yang saya ucapkan. Maaf ya?”
Amira hanya tersenyum kemudian dia dengan santai menjawab pertanyaan tersebut menggunakan bahasa arab penuh dan lancar dalam pengucapannya. “fa’fu ‘anni bi hali dzalik, inna jawabiy kadza wa kadza. Fahimta?”
Sontak empat temannya yang sedang berdiskusi tersebut terheran-heran dengan kelancaran bahasa arab yang diucapkan Amira.
Amira pun tertawa mengingat kejadian tersebut ketika menceritakaanya kepadaku.

Sekitar pukul tiga belas selepas sholat dhuhur, aku dan Amira yang kebetulan satu bidang dalam organisasi mahasiswa bahasa inggris yang mengorganisasi tentang keagamaan islam mengikuti acara sarasehan yang diadakan di aula masjid Futuhiyah. Dalam kesempatan tersebut setiap anggota dipersilakan untuk mengeluarkan unek-unek ataupun kritik dan saran untuk bidang satu ini dan kepada kabid sekbidnya.
Aku yang mendapat kesempatan pertama langsung mengeluarkan unek-unek yang selama ini aku rasakan karena sangat jarang mendapat undangan rapat bidang dan berbagai kegiatan acara yang menjadi proker bidang ini. Aku mengulas banyak kekurangan yang aku rasakan.
“maaf mas memang saya ini tidak begitu piawai dan senang dalam organisasi, namun setidaknya juga perlu diperhatikan lah… kan saya juga masih tercatat sebagai anggota bidang ini. Mungkin bukan hanya saya saja namun juga yang lain agar lebih bersemangat dalam berorganisasi.”

Mas Afrizal yang menjadi kabid menanggapi unek-unek dari anggota-anggota yang lainnya juga dan menyatakan kesediaannya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada bidang satu.
Giliran sekbid mbak Zahro mengutarakan unek-uneknya, “... ya, paling tidak semua anggota dari bidang satu ini bisa diarahkan dari yang semula berpakaian ketat sekarang menjadi longar dan berjilbab besar. Untuk yang ikhwan diharapkan untuk mengenakan celana yang tingginya berada di atas mata kaki dan kalo bisa lagi nih, di usahakan untuk memelihara jenggot kan dua hal tersebut merupakan anjuran nabi besar Muhammad SAW.”

Amira yang agaknya kurang setuju dengan pendapat tersebut menunggu mbak zahro menyelesaikan pembicaraan dan angkat bicara untuk menanggapinya.
“mohon maaf sebelumnya, bukannya saya menentang dari beberapa anjuran dalam islam tersebut mbak. Namun bukankah islam adalah agama rahmatan lili’alamin? Dan tidak ada paksaan dalam melaksanakannya. La ikroha fiddiin. Saya rasa semua orang bebas untuk menentukan pilihannya dalam anjuran ini. Jadi kita tidak boleh memaksakan kehendak dengan dalil-dalil yang kita punya untuk menerapkannya. Memang kita harus ber amar ma’ruf dan nahi munkar, namun bukan seperti itu yang di anjurkan oleh nabi kita mbak! Kita harus menggunakan bahasa yang santun dan tidak boleh sampai menyakiti hati orang tersebut. Misalkan ada putra yang mengenakan celana yang panjangnya hingga mencapai di bawah mata kaki itupun ada pendapat ulama yang memperbolehkannya. Menurut imam Syafii pun hal semacam tersebut bukanlah suatu amalan yang berdosa, karna yang menjadi penyebab sumber dosa dari referensi hadis nabi mengenai hala tersebut adalah bmengenakan dengan niatan sombong. Jadi misalkan ada putra yang mengenakan celana sampai di atas mata kaki dengan niatan sombong itu pun juga termasuk dosa.”

Tak mau kalah dengan Amira yang merupakan adik tingkat dari mbak Zahro, mbak Zahro pun mengeluarkan argumen yang tak kalah kuatnya hingga suasana pun memanas.
Aku hanya terdiam sambil tersenyum melihat suasana tersebut. Sambil mengamati wajah Amira yang begitu tegas dan semakin menambah wibawa kecantikannya di saat sedang berdebat. Aku pun mengatakan kepada teman yang duduk di sebelahku “ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat.”

Karanganyar, 7 Juni 2010

ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat

ssst… jangan berisik,
ada yang sedang seru berdebat

Amira namanya remaja putri berusia dua puluh tahun yang sangat ramah. Mengenakan busana muslimah yang menurutku tidak begitu ekstrim seperti remaja putri binaan di kampusku. Ramah, anggun, santun, tidak pernah membeda-bedakan masalah agama dalam berteman. Banyak teman yang senang bergaul dengannya termasuk juga aku yang bisa begitu cocok pada berbagai pandangan pengetahuan agama. Meskipun Amira dan aku berbeda dari sudut latar belakang yang notabene aku lulusan dari ponpes tradisional dan dia dari ponpes modern namun dalam berbagai hal seperti saling melengkapi satu sama lain.

Meskipun berasal dari latar belakang seorang pesantren namun dia dalam mengamalkan dari apa yang pernah dia pelajari di pesantren tidak pernah terlalu muluk-muluk atau ditonjolkan. Begitu juga dalam mengingatkan temannya yang seagama yang dirasa kurang memenuhi pereaturan agama, dia tidak lantas langsung menegur, namun diberi tahu dengan lembut dan tidak sedikitpun melukai perasaan yang diingatkan tersebut.
“maaf mbak, jilbabnya belum menutupi semua rambutnya mbak!”
Tegur Mira sapaan akrab Amira pada suatu ketika aku melihatnya dibelakang kelas sedang memberi nasehat kepada temannya.

Dia sangat menghormati hak dan pendapat orang lain. Jika teman tersebut memiliki alasan meskipun tidak logis untuk menjawab pertanyaanya, dia tidak lantas langsung menyembur dan menyatakan salah kepada temannya tersebut. Yang selalu menjadi perhatianku dia mau berteman dengan temannya yang beda agama. Sehingga meskipun dia berjilbab, temannya yang berbeda agama tersebut tidak pernah sungkan untuk bergaul, mengobrol, sharing dengannya.
Aku kenal dengannya baru satu setengah tahun belakang ini, saat aku masuk jurusan sastra Inggris sama seperti jurusan yang dia tempuh. Meskipun usianya satu tahun dibawahku namun dia menjadi kakak tengkatku di salah satu perguruan tinggi negeri di jawa tengah namun dia tetap menghormati aku untuk memanggilnya mas, karena dia tahu kalau aku waktu SMA dulu adalah kakak kelasnya. Kadang pula dia memanggilku dengan sebutan “dek” jika sedang becanda dan iseng denganku.



Hal lain yang menjadi perhatianku juga dari teman remaja putri seangkatannya yang menjadi mahasiswa binaan kerohanian islam di kampusku. Mereka memakai baju gamis dengan jilbab yang besar bahkan ada yang memakai cadar seperti adat masyarakat Arab. Namun sayangnya dalam hal amar makruf nahi munkar yang menjadi semangat mereka menegakkan agama islam aku rasa kurang mencerminkan budaya islam yang begitu santun.

Apabila mereka melihat sesuatu yang menurut pemahamannya dianggap munkar, maka tidak segan-segan mereka menegur secara terang-terangan langsung dihadapannya. Ketika melihat teman putri yang biasa mereka panggil atau sebut dengan panggilan ukhti yang kurang rapat jilbabnya sehingga rambutnya terlihat dan yang bercelana ketat mereka pun langsung menegur habis-habisan.
“harusnya tu sebagai akhwat yang muslimah memakai pakaian yang longgar dan jilbabnya juga besar sehingga dapat menutupi bagian atas dari tubuh kita ukhti!!” cerita salah satu temanku yang pernah ditegur oleh mereka.
“ukhti, tahu hukumnya dekat dengan ikhwan yang notabene jelas-jelas bukan muhrim nggak?” tegur salah satu mahasiswi binaan kepada teman seangkatanku pada saat dia memergokinya sedang berduaan dengan teman laki-lakinya.
“itu salah satu jurus ampuh setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang perzinaan ukh!” tambah mahasiswi binaan tersebut.



Tak pelak Amira pun pernah menjadi sasaran teguran oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“ukh, kok temannya banyak yang non islam?” suatu ketika saat Amira sedang berpapasan dengannya.
Sontak Amira kaget dengan teguran kakak tingkatnya tersebut,
“lho maaf mbak, memangnya nggak boleh ya orang muslim berteman dengan orang yang non muslim?”
“bukan begitu ukh, kita harus bisa memilih teman yang baik yang sesuai sareat islam. Ukhti pernah mendengar dalil yang menyatakan ketidakbolehan umat muslim untuk bergaul dengan orang yang non muslim kan?” mahasiswi binaan tersebut mencoba mengertikan maksudnya kepada Amira.
Amira pun hanya mengangguk sekedar mengangguk dan mengucapkan terimakasih karena telah diingatkan lantas pergi meninggalkannya untuk menghindari perdebatan yang tiada guna. Seandainya Amira menghendaki untuk berdebat aku rasa dia sangat mampu, namun bukan itu yang diinginkannya.

Pernah suatu pagi aku ditelpon oleh Amira menanyakan tentang alasan mengapa tauhid merupakan pokok dari agama islam, dan meminta dicarikan dalil dari hal tersebut.
“memangnya untuk apa mir?” tanyaku agak pesimis terhadap pertanyaannya, karna aku tahu sepertinya dia juga tahu jawabannya.
Akhirnya setelah kutanyakan alasan mengapa menanyakan hal tersebut dia menceritakan kejadian yang sebenarnya yang sedang dia alami.
“begini mas, tadi saat saya kegiatan mentoring kakak mentor saya membahas masalah tauhid yang merupakan pokok dari agam islam. Lantas aku bertanya alasan mengapa tauhid menjadi pokok dari agama islam, tapi mbak mentornya malah menjawab “kan ada dalilnya tu dalam Al-quran surat al ikhlas ukh”
Bukankah dalil tersebut merupakan sifat dari Allah dan pengukuhan bahwa Allah itu satu ya kan mas?” seolah dia kurang puas dengan jawaban yang diberikan oleh kakak mentornya. Dan aku mencoba menjelaskan alasan dari pertanyaan yang ditujukan kepada kakak mentornya tersebut.
“lalu dalilnya ada nggak mas?” amira menanyakan kefalidtan dari uraianku.
“sebentar aku cari dulu di kitab Qomi’ Thugyan, nanti kalau sudah ketemu biar aku beri tahu ke kamu lewat sms atau langsung.” Aku mencoba menawar waktu untuk memastikan kefalidtan dari pendapatku.
“terimakasih mas, atas bantuannya. Tadi tu mbak mentornya bersikukuh mengatakan bahwa surat al ikhlas itu dalilnya namun saya masih ragu dengan jawabannya tersebut.” Aku merasakan kecemasannya mulai mereda setelah mendengar jawabanku.
Yang lucu darinya seingatku pada saat dia berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswi binaan dari satu bidang organisasi kampus.
“afwan ukhti Mira ana tadi kurang paham dengan maksud antum.” Tanya seorang dari mereka kepada Amira.
Amira hanya melototkan mata dan diam agaknya kurang mengerti dari bahasa yang digunakan oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“oh afwan, antum bukan mahasiswi binaan ya? Jadi kurang mengerti dengan beberapa kata yang saya ucapkan. Maaf ya?”
Amira hanya tersenyum kemudian dia dengan santai menjawab pertanyaan tersebut menggunakan bahasa arab penuh dan lancar dalam pengucapannya. “fa’fu ‘anni bi hali dzalik, inna jawabiy kadza wa kadza. Fahimta?”
Sontak empat temannya yang sedang berdiskusi tersebut terheran-heran dengan kelancaran bahasa arab yang diucapkan Amira.
Amira pun tertawa mengingat kejadian tersebut ketika menceritakaanya kepadaku.

Sekitar pukul tiga belas selepas sholat dhuhur, aku dan Amira yang kebetulan satu bidang dalam organisasi mahasiswa bahasa inggris yang mengorganisasi tentang keagamaan islam mengikuti acara sarasehan yang diadakan di aula masjid Futuhiyah. Dalam kesempatan tersebut setiap anggota dipersilakan untuk mengeluarkan unek-unek ataupun kritik dan saran untuk bidang satu ini dan kepada kabid sekbidnya.
Aku yang mendapat kesempatan pertama langsung mengeluarkan unek-unek yang selama ini aku rasakan karena sangat jarang mendapat undangan rapat bidang dan berbagai kegiatan acara yang menjadi proker bidang ini. Aku mengulas banyak kekurangan yang aku rasakan.
“maaf mas memang saya ini tidak begitu piawai dan senang dalam organisasi, namun setidaknya juga perlu diperhatikan lah… kan saya juga masih tercatat sebagai anggota bidang ini. Mungkin bukan hanya saya saja namun juga yang lain agar lebih bersemangat dalam berorganisasi.”

Mas Afrizal yang menjadi kabid menanggapi unek-unek dari anggota-anggota yang lainnya juga dan menyatakan kesediaannya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada bidang satu.
Giliran sekbid mbak Zahro mengutarakan unek-uneknya, “... ya, paling tidak semua anggota dari bidang satu ini bisa diarahkan dari yang semula berpakaian ketat sekarang menjadi longar dan berjilbab besar. Untuk yang ikhwan diharapkan untuk mengenakan celana yang tingginya berada di atas mata kaki dan kalo bisa lagi nih, di usahakan untuk memelihara jenggot kan dua hal tersebut merupakan anjuran nabi besar Muhammad SAW.”

Amira yang agaknya kurang setuju dengan pendapat tersebut menunggu mbak zahro menyelesaikan pembicaraan dan angkat bicara untuk menanggapinya.
“mohon maaf sebelumnya, bukannya saya menentang dari beberapa anjuran dalam islam tersebut mbak. Namun bukankah islam adalah agama rahmatan lili’alamin? Dan tidak ada paksaan dalam melaksanakannya. La ikroha fiddiin. Saya rasa semua orang bebas untuk menentukan pilihannya dalam anjuran ini. Jadi kita tidak boleh memaksakan kehendak dengan dalil-dalil yang kita punya untuk menerapkannya. Memang kita harus ber amar ma’ruf dan nahi munkar, namun bukan seperti itu yang di anjurkan oleh nabi kita mbak! Kita harus menggunakan bahasa yang santun dan tidak boleh sampai menyakiti hati orang tersebut. Misalkan ada putra yang mengenakan celana yang panjangnya hingga mencapai di bawah mata kaki itupun ada pendapat ulama yang memperbolehkannya. Menurut imam Syafii pun hal semacam tersebut bukanlah suatu amalan yang berdosa, karna yang menjadi penyebab sumber dosa dari referensi hadis nabi mengenai hala tersebut adalah bmengenakan dengan niatan sombong. Jadi misalkan ada putra yang mengenakan celana sampai di atas mata kaki dengan niatan sombong itu pun juga termasuk dosa.”

Tak mau kalah dengan Amira yang merupakan adik tingkat dari mbak Zahro, mbak Zahro pun mengeluarkan argumen yang tak kalah kuatnya hingga suasana pun memanas.
Aku hanya terdiam sambil tersenyum melihat suasana tersebut. Sambil mengamati wajah Amira yang begitu tegas dan semakin menambah wibawa kecantikannya di saat sedang berdebat. Aku pun mengatakan kepada teman yang duduk di sebelahku “ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat.”

Karanganyar, 7 Juni 2010

Tips Menulis Cerpen

Menulis cerpen adalah salah satu “jalan pintas” yang paling sering digunakan seseorang untuk merintis jalan menjadi seorang penulis. Sebelum menjadi penulis beken, biasanya seseorang memulai dengan menulis cerpen di media massa atau majalah-majalah remaja. Cara seperti ini sah-sah saja dilakukan. Toh dengan menulis cerpen, sebenarnya kita juga sedang berbagi ideologi dari kisah-kisah pendek tersebut sebagaimana menulis novel, opini, artikel bahkan buku bacaan.

Namun demikian, banyak juga yang tidak jadi melanjutkan cita-citanya sebagai penulis hanya karena tidak dapat menyelesaikan cerpennya. Ada yang tidak tahu darimana mulai menuliskannya. Ada juga yang tidak tahu bagaimana mengakhiri cerpennya. Celakanya, ketika ia tidak mengetahui hal tersebut, ia langsung mengutuk dirinya bahwa ia benar-benar tidak berbakat menjadi penulis.

Sebenarnya, tidak ada teori yang pasti mengenai penulisan cerpen. Namun, setidaknya tips dibawah ini dapat digunakan untuk memulai menulis cerpen. Yang penting untuk diingat, tips berikut adalah alat bantu untuk menulis cerpen. Jika kelak tips ini tidak membantu bahkan menyusahkan, jangan sungkan-sungkan untuk melupakannya.

Menentukan Tema Besar
Penentuan tema merupakan hal yang paling penting dalam penulisan cerpen. Sebelum membuat cerpen, setidaknya kita harus menentukan titik tekan (stressing point) dari cerpen tersebut. Ada banyak pilihan tema besar yang bisa kita pilih, diantaranya yaitu persahabatan, percintaan, sosial, budaya, sejarah, politik, sains dan tekhnologi, agama, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, kita memilih tema besar SEJARAH. Dari tema inilah kelak, kita akan membuat cerpen.

Menentukan Ide Cerita
Setelah kita menentukan tema besar, kita pastinya mempunyai ide-ide cerita yang berkaitan dengan tema besar tersebut. Percintaan misalnya, dalam hal ini kita bisa menemukan ide tentang pernikahan, perjumpaan pertama, rebutan pacar, saling kirim surat, dan lain sebagainya. Sangat banyak ide yang berkeliaran tentang tema percintaan. Begitu juga dengan tema-tema lainnya.

Dalam hal ini, ada satu hal yang filosofi menulis yang perlu kita ingat. “Janganlah memikirkan apa yang mau ditulis, tapi tulislah apa yang sedang dipikirkan!” tulislah ide-ide itu sebanyak-banyaknya. Jangan pernah takut salah. Toh, ini belum menjadi cerpen. Hanya pencatatan ide saja. Karena tadi kita telah memilih SEJARAH sebagai tema besar, kita mungkin bisa mencatat ide sebagai berikut: cerita nabi, sejarah kemerdekaan, dongeng-dongeng masyarakat, malin kundang, sangkuriang, dan lain sebagainya.

Mengembangkan Ide
Nah, inilah saatnya kita mengembangkan ide-ide tersebut. Dari sekian banyak ide yang kita tuliskan, tentulah ada satu ide yang sangat akrab ditelinga bahkan telah ada gambaran mengenai jalan ceritanya. Itulah yang harus kita kembangkan.

Dalam hal ini, satu hal yang perlu kita ingat adalah TEORI MENULIS ITU MUNCUL SETELAH ADA TULISAN. Jadi, tulislah sesuka hati, jangan pernah memikirkan apakah cerpen kita sesuai EYD atau tidak. Cerpen tersebut masuk akal atau tidak. Tokoh cerpen ini menarik atau tidak. Setting kejadiannya sesuai dengan aslinya atau tidak. Jangan pernah memikirkan hal-hal yang demikian. Dari ide diatas tadi, kita akan mengembangkan cerita nabi terkhusus nabi Ibrahim.

Merias Cerpen
Setelah ide tersebut kita kembangkan hingga dirasa cukup dan selesai, kini tibalah saatnya kita merias cerpen tersebut. Ingatlah sebuah teori yang mengatakan bahwa TIDAK ADA TULISAN YANG BAGUS KETIKA DITULIS PERTAMA KALINYA. Semua tulisan pastilah melalui proses editing. Dalam proses inilah, kita perlu memikirkan EYD, masuk akal atau tidaknya cerpen, tokohnya menarik atau tidak, dialognya terlalu formal atau nyata, setting kejadiannya sesuai asli atau tidak.

Kita juga perlu memikirkan apakah akhir dari cerpen ini memuaskan pembaca atau tidak. Mudah ditebak atau tidak. Jika semuanya telah cukup, selamat cerpen tersebut telah selesai.
Sebagai contoh berikut cerpen saya yang berhasil saya tulis dan telah dimuat di Nalar Magazine Edisi Pertama

Kata Orang Aku Mirip Nabi Ibrahim
Beberapa Bulan Yang Lalu

“Dek!” ujarku dihadapan istriku.
“Idul Adha tahun ini Abang ingin berkurban 1 ekor kambing kalau kambing kita jadi melahirkan besok.”
“Terserah abang aja,” ujar istriku sambil menghidangkan kopi dihadapanku.
Itulah pembicaraanku dengan istriku tercinta malam hari sebelum kambingku melahirkan. Dengan lahirnya kambingku, nazarku untuk berkurban Idul Adha ini harus kupenuhi.

Sebulan Menjelang Idul Adha
Sekuat apapun manusia, sekaya apapun pengusaha, tak akan mampu menghalangi datangnya musibah. Musibah terkadang adalah awal dari kenikmatan bila kita sabar dalam menghadapinya. Tetapi, manusia sering tidak mampu untuk bersabar dalam menghadapi segala musibah. Sehari setelah kematian dua kambingku, anak kambing yang baru dilahirkan dan induk perempuan dari kambing tersebut karena keracunan, istriku menyusul menghadap keharibaan Allah SWT. Istriku meninggal akibat penyakit tipus yang dideritanya. Peristiwa ini membuat kesendirian dalam diriku ditemani oleh kambing jantanku.

“tok…tok…tok!” suara ketukan pintu rumahku.
Kubuka pintu dan seorang lelaki setengah baya berdiri dihadapanku. Diucapkannya salam dan aku membalasnya seraya mempersilahkannya untuk masuk. Akan tetapi ia menolak dengan alasan masih banyak rumah yang harus disinggahinya. Lelaki itu memperkenalkan dirinya. Namanya Yanto, salah seorang panitia penyelenggara kurban pada hari raya Idul Adha. Kedatangannya itu mengingatkanku pada nazar yang telah kuniatkan beberapa bulan yang lalu.

“Bagaimanakah hidupku bila kambing satu-satunya yang kumiliki kukurbankan? Apakah harta yang menopang kehidupanku? Hartaku satu-satunya hanyalah kambing itu, dan aku telah menazarkannya beberapa bulan yang lalu. Bolehkah aku membatalkan nazarku dengan alasan tidak adanya hartaku selain kambingku itu?” pertanyaan demi pertanyaan itu berkelabat hebat dalam pikiranku.

Ditengah kesendirianku itu, aku akhirnya membulatkan tekad untuk tetap mengorbankan kambingku satu-satunya itu. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan ganti yang lebih besar dan lebih mulia. Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa barang siapa yang mengorbankan harta dijalan-Nya akan mendapatkan ganti yang lebih banyak dan lebih mulia dari apa yang diberikannya? Bukankah barang siapa yang “menolong” Allah akan ditolong oleh Allah? Itulah yang menjadi tekadku dalam hati.

Akhirnya, aku membawa kambingku menuju Mesjid Raya, sekretariat panitia kurban wilayahku. Dijalan, aku bertemu dengan Pak Bram, salah satu tetangga yang kurang berkecukupan, sama seperti diriku.

“Assalamu’alaikum, Pak Ibrahim!” sapanya.
“Wa’alaikum Salam” sapaku seraya bersalaman dengannya.
“Mau kemana ni, Pak!” ujarnya lanjut, “Singgah dulu”
Akupun singgah sebentar. Kuceritakan padanya niatku tentang pengorbanan kambingku. Kurasa ia kurang setuju. Ia berdalih bahwa berkorban itu hanya bagi orang yang mampu. Orang-orang seperti kami berhak untuk menerima hewan kurban bukan mengkurbankan hewan.

“Allah pasti tau mana yang miskin dan mana yang kaya. Walaupun Pak Ibrahim itu telah bernazar untuk mengorbankan kambing, Allah pasti tau toh, bahwa Pak Ibrahim masih membutuhkan kambing itu. Karena memang kambing itulah kambing satu-satunya yang merupakan harta pak Ibrahim. Bagaimana pak Ibrahim akan hidup kalau kambing satu-satunya dikorbankan. Pakai doa dan tawakkal? Tidak mungkin pak! Lebih baik dipikirkan lagi tentang rencana itu.

Aku hanya menjawab dengan senyuman. Orang seperti Pak Bram kalau dilawan akan bertambah semangat menantang. Maklum, orang miskin biasanya emosian kalau diajak berbicara. Akupun pamit setelah beberapa menit berbincang dengannnya.
Beberapa meter sebelum sampai ke Mesjid, kulihat Pak Rudi baru keluar dari pagar mesjid. Kusapa dia dan berbincang sebentar dengannya. Ia mengetahui niatku tetapi, sama seperti Pak Bram, sepertinya Pak Rudi kasihan terhadap nasibku.

“Lho? Bukankah pak Ibrahim masih membutuhkan kambingnya? Dengan apa pak Ibrahim hidup tanpa kambing? Apa tidak ditunda dulu hingga tahun depan?”

“Ya saya percaya saja pada Allah, Pak! Saya hanya ingin menunaikan nazar saya.” Begitu jawabku.

“atau saya beli. 700 ribu. Bapakkan bisa membeli kambing yang berharga 500 ribu dan 200 ribunya bisa bapak jadikan modal?” Pak Rudi menawarkan solusi
Hatiku sempat goyah. 200 ribu bagiku adalah modal yang cukup besar dan berharga. Bila aku membelikan kambing yang berharga 500 ribu, bukankah aku telah menunaikan nazarku? Walaupun tidak dengan kambingku.

Tapi untunglah pikiran seperti itu hanya tersimpan dalam relung hatiku tanpa sempat terucap. Sekali lagi aku hanya berterima kasih kepada Pak Rudi dan aku tetapi bertekad untuk mengkurbankan kambingku tanpa menjualnya terlebih dahulu.
“mau dibantu ko’ nolak?!” begitu ujar pak Rudi berbisik sebelum meninggalkanku.

Idul Adha
“Allahu Akbar…..Allahu Akbar….Allahu Akbar…” sayup-sayup takbir bergemuruh dimenara-menara mesjid disekitar wilayahku. Idul Adha telah tiba. Aku melaksanakan shalat idul adha di mesjid raya sekalian menyaksikan pengorbanan kambingku.

¤kata orang aku mirip nabi ibrahim¤
Darah bersih keluar dari leher kambingku diiringi takbirku yang keluar dari kedua bibir. Mataku berkaca pertanda kebahagiaan Allah masih memberi kesempatan untuk berkurban kepadaku.

“Pak Ibrahim. Assalamu’alaikum…”
Suara itu milik Ustadz Imron, salah seorang pimpinan Pondok Pesantren yang ada diwilayahku. Beliau mengajakku berbincang-bincang. Rupanya beliau punya rencana untuk membuat peternakan kambing diwilayahku dan belum mendapatkan penggembalanya. Ia menawarkan pekerjaan ini kepadaku.

“Gimana Pak Ibrahim?”
Mataku berkaca. Aku teringat tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan anaknya kembali setelah “menyembelihnya”. Kusujudkan tubuhku. Ustadz Imron tersenyum.


Publikasi
Saatnya mempublikasikan adalah saat unjuk gigi. Jangan pernah malu untuk mempublikasikan tulisan. Jangan pernah menghina tulisan sendiri sebelum mempublikasikannya. Terkadang, ada tulisan yang kita anggap jelek namun menarik menurut orang lain. Sebaliknya, menurut kita tulisan itu menarik, namun respon pembaca biasa-biasa saja. Kesimpulannya, publikasikanlah karya terlebih dahulu dan tunggulah kejutan-kejutan yang menarik.


Radinal Mukhtar Harahap, alumnus PP. Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Bermukim di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya.

sumber: http://menuliskreatif.com/2009/05/tips-menulis-cerpen/

Tips Menulis Cerpen

Menulis cerpen adalah salah satu “jalan pintas” yang paling sering digunakan seseorang untuk merintis jalan menjadi seorang penulis. Sebelum menjadi penulis beken, biasanya seseorang memulai dengan menulis cerpen di media massa atau majalah-majalah remaja. Cara seperti ini sah-sah saja dilakukan. Toh dengan menulis cerpen, sebenarnya kita juga sedang berbagi ideologi dari kisah-kisah pendek tersebut sebagaimana menulis novel, opini, artikel bahkan buku bacaan.
Namun demikian, banyak juga yang tidak jadi melanjutkan cita-citanya sebagai penulis hanya karena tidak dapat menyelesaikan cerpennya. Ada yang tidak tahu darimana mulai menuliskannya. Ada juga yang tidak tahu bagaimana mengakhiri cerpennya. Celakanya, ketika ia tidak mengetahui hal tersebut, ia langsung mengutuk dirinya bahwa ia benar-benar tidak berbakat menjadi penulis.
Sebenarnya, tidak ada teori yang pasti mengenai penulisan cerpen. Namun, setidaknya tips dibawah ini dapat digunakan untuk memulai menulis cerpen. Yang penting untuk diingat, tips berikut adalah alat bantu untuk menulis cerpen. Jika kelak tips ini tidak membantu bahkan menyusahkan, jangan sungkan-sungkan untuk melupakannya.
Menentukan Tema Besar
Penentuan tema merupakan hal yang paling penting dalam penulisan cerpen. Sebelum membuat cerpen, setidaknya kita harus menentukan titik tekan (stressing point) dari cerpen tersebut. Ada banyak pilihan tema besar yang bisa kita pilih, diantaranya yaitu persahabatan, percintaan, sosial, budaya, sejarah, politik, sains dan tekhnologi, agama, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, kita memilih tema besar SEJARAH. Dari tema inilah kelak, kita akan membuat cerpen.
Menentukan Ide Cerita
Setelah kita menentukan tema besar, kita pastinya mempunyai ide-ide cerita yang berkaitan dengan tema besar tersebut. Percintaan misalnya, dalam hal ini kita bisa menemukan ide tentang pernikahan, perjumpaan pertama, rebutan pacar, saling kirim surat, dan lain sebagainya. Sangat banyak ide yang berkeliaran tentang tema percintaan. Begitu juga dengan tema-tema lainnya.
Dalam hal ini, ada satu hal yang filosofi menulis yang perlu kita ingat. “Janganlah memikirkan apa yang mau ditulis, tapi tulislah apa yang sedang dipikirkan!” tulislah ide-ide itu sebanyak-banyaknya. Jangan pernah takut salah. Toh, ini belum menjadi cerpen. Hanya pencatatan ide saja. Karena tadi kita telah memilih SEJARAH sebagai tema besar, kita mungkin bisa mencatat ide sebagai berikut: cerita nabi, sejarah kemerdekaan, dongeng-dongeng masyarakat, malin kundang, sangkuriang, dan lain sebagainya.
Mengembangkan Ide
Nah, inilah saatnya kita mengembangkan ide-ide tersebut. Dari sekian banyak ide yang kita tuliskan, tentulah ada satu ide yang sangat akrab ditelinga bahkan telah ada gambaran mengenai jalan ceritanya. Itulah yang harus kita kembangkan.
Dalam hal ini, satu hal yang perlu kita ingat adalah TEORI MENULIS ITU MUNCUL SETELAH ADA TULISAN. Jadi, tulislah sesuka hati, jangan pernah memikirkan apakah cerpen kita sesuai EYD atau tidak. Cerpen tersebut masuk akal atau tidak. Tokoh cerpen ini menarik atau tidak. Setting kejadiannya sesuai dengan aslinya atau tidak. Jangan pernah memikirkan hal-hal yang demikian. Dari ide diatas tadi, kita akan mengembangkan cerita nabi terkhusus nabi Ibrahim.
Merias Cerpen
Setelah ide tersebut kita kembangkan hingga dirasa cukup dan selesai, kini tibalah saatnya kita merias cerpen tersebut. Ingatlah sebuah teori yang mengatakan bahwa TIDAK ADA TULISAN YANG BAGUS KETIKA DITULIS PERTAMA KALINYA. Semua tulisan pastilah melalui proses editing. Dalam proses inilah, kita perlu memikirkan EYD, masuk akal atau tidaknya cerpen, tokohnya menarik atau tidak, dialognya terlalu formal atau nyata, setting kejadiannya sesuai asli atau tidak.
Kita juga perlu memikirkan apakah akhir dari cerpen ini memuaskan pembaca atau tidak. Mudah ditebak atau tidak. Jika semuanya telah cukup, selamat cerpen tersebut telah selesai.
Sebagai contoh berikut cerpen saya yang berhasil saya tulis dan telah dimuat di Nalar Magazine Edisi Pertama

Kata Orang Aku Mirip Nabi Ibrahim
Beberapa Bulan Yang Lalu

“Dek!” ujarku dihadapan istriku. “Idul Adha tahun ini Abang ingin berkurban 1 ekor kambing kalau kambing kita jadi melahirkan besok.”
“Terserah abang aja,” ujar istriku sambil menghidangkan kopi dihadapanku.
Itulah pembicaraanku dengan istriku tercinta malam hari sebelum kambingku melahirkan. Dengan lahirnya kambingku, nazarku untuk berkurban Idul Adha ini harus kupenuhi.
Sebulan Menjelang Idul Adha
Sekuat apapun manusia, sekaya apapun pengusaha, tak akan mampu menghalangi datangnya musibah. Musibah terkadang adalah awal dari kenikmatan bila kita sabar dalam menghadapinya. Tetapi, manusia sering tidak mampu untuk bersabar dalam menghadapi segala musibah. Sehari setelah kematian dua kambingku, anak kambing yang baru dilahirkan dan induk perempuan dari kambing tersebut karena keracunan, istriku menyusul menghadap keharibaan Allah SWT. Istriku meninggal akibat penyakit tipus yang dideritanya. Peristiwa ini membuat kesendirian dalam diriku ditemani oleh kambing jantanku.
“tok…tok…tok!” suara ketukan pintu rumahku.
Kubuka pintu dan seorang lelaki setengah baya berdiri dihadapanku. Diucapkannya salam dan aku membalasnya seraya mempersilahkannya untuk masuk. Akan tetapi ia menolak dengan alasan masih banyak rumah yang harus disinggahinya. Lelaki itu memperkenalkan dirinya. Namanya Yanto, salah seorang panitia penyelenggara kurban pada hari raya Idul Adha. Kedatangannya itu mengingatkanku pada nazar yang telah kuniatkan beberapa bulan yang lalu.
“Bagaimanakah hidupku bila kambing satu-satunya yang kumiliki kukurbankan? Apakah harta yang menopang kehidupanku? Hartaku satu-satunya hanyalah kambing itu, dan aku telah menazarkannya beberapa bulan yang lalu. Bolehkah aku membatalkan nazarku dengan alasan tidak adanya hartaku selain kambingku itu?” pertanyaan demi pertanyaan itu berkelabat hebat dalam pikiranku.
Ditengah kesendirianku itu, aku akhirnya membulatkan tekad untuk tetap mengorbankan kambingku satu-satunya itu. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan ganti yang lebih besar dan lebih mulia. Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa barang siapa yang mengorbankan harta dijalan-Nya akan mendapatkan ganti yang lebih banyak dan lebih mulia dari apa yang diberikannya? Bukankah barang siapa yang “menolong” Allah akan ditolong oleh Allah? Itulah yang menjadi tekadku dalam hati.
Akhirnya, aku membawa kambingku menuju Mesjid Raya, sekretariat panitia kurban wilayahku. Dijalan, aku bertemu dengan Pak Bram, salah satu tetangga yang kurang berkecukupan, sama seperti diriku.
“Assalamu’alaikum, Pak Ibrahim!” sapanya.
“Wa’alaikum Salam” sapaku seraya bersalaman dengannya.
“Mau kemana ni, Pak!” ujarnya lanjut, “Singgah dulu”
Akupun singgah sebentar. Kuceritakan padanya niatku tentang pengorbanan kambingku. Kurasa ia kurang setuju. Ia berdalih bahwa berkorban itu hanya bagi orang yang mampu. Orang-orang seperti kami berhak untuk menerima hewan kurban bukan mengkurbankan hewan.
“Allah pasti tau mana yang miskin dan mana yang kaya. Walaupun Pak Ibrahim itu telah bernazar untuk mengorbankan kambing, Allah pasti tau toh, bahwa Pak Ibrahim masih membutuhkan kambing itu. Karena memang kambing itulah kambing satu-satunya yang merupakan harta pak Ibrahim. Bagaimana pak Ibrahim akan hidup kalau kambing satu-satunya dikorbankan. Pakai doa dan tawakkal? Tidak mungkin pak! Lebih baik dipikirkan lagi tentang rencana itu.
Aku hanya menjawab dengan senyuman. Orang seperti Pak Bram kalau dilawan akan bertambah semangat menantang. Maklum, orang miskin biasanya emosian kalau diajak berbicara. Akupun pamit setelah beberapa menit berbincang dengannnya.
Beberapa meter sebelum sampai ke Mesjid, kulihat Pak Rudi baru keluar dari pagar mesjid. Kusapa dia dan berbincang sebentar dengannya. Ia mengetahui niatku tetapi, sama seperti Pak Bram, sepertinya Pak Rudi kasihan terhadap nasibku.
“Lho? Bukankah pak Ibrahim masih membutuhkan kambingnya? Dengan apa pak Ibrahim hidup tanpa kambing? Apa tidak ditunda dulu hingga tahun depan?”
“Ya saya percaya saja pada Allah, Pak! Saya hanya ingin menunaikan nazar saya.” Begitu jawabku.
“atau saya beli. 700 ribu. Bapakkan bisa membeli kambing yang berharga 500 ribu dan 200 ribunya bisa bapak jadikan modal?” Pak Rudi menawarkan solusi
Hatiku sempat goyah. 200 ribu bagiku adalah modal yang cukup besar dan berharga. Bila aku membelikan kambing yang berharga 500 ribu, bukankah aku telah menunaikan nazarku? Walaupun tidak dengan kambingku.
Tapi untunglah pikiran seperti itu hanya tersimpan dalam relung hatiku tanpa sempat terucap. Sekali lagi aku hanya berterima kasih kepada Pak Rudi dan aku tetapi bertekad untuk mengkurbankan kambingku tanpa menjualnya terlebih dahulu.
“mau dibantu ko’ nolak?!” begitu ujar pak Rudi berbisik sebelum meninggalkanku.
Idul Adha
“Allahu Akbar…..Allahu Akbar….Allahu Akbar…” sayup-sayup takbir bergemuruh dimenara-menara mesjid disekitar wilayahku. Idul Adha telah tiba. Aku melaksanakan shalat idul adha di mesjid raya sekalian menyaksikan pengorbanan kambingku.
¤kata orang aku mirip nabi ibrahim¤
Darah bersih keluar dari leher kambingku diiringi takbirku yang keluar dari kedua bibir. Mataku berkaca pertanda kebahagiaan Allah masih memberi kesempatan untuk berkurban kepadaku.
“Pak Ibrahim. Assalamu’alaikum…”
Suara itu milik Ustadz Imron, salah seorang pimpinan Pondok Pesantren yang ada diwilayahku. Beliau mengajakku berbincang-bincang. Rupanya beliau punya rencana untuk membuat peternakan kambing diwilayahku dan belum mendapatkan penggembalanya. Ia menawarkan pekerjaan ini kepadaku.
“Gimana Pak Ibrahim?”
Mataku berkaca. Aku teringat tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan anaknya kembali setelah “menyembelihnya”. Kusujudkan tubuhku. Ustadz Imron tersenyum.
Publikasi
Saatnya mempublikasikan adalah saat unjuk gigi. Jangan pernah malu untuk mempublikasikan tulisan. Jangan pernah menghina tulisan sendiri sebelum mempublikasikannya. Terkadang, ada tulisan yang kita anggap jelek namun menarik menurut orang lain. Sebaliknya, menurut kita tulisan itu menarik, namun respon pembaca biasa-biasa saja. Kesimpulannya, publikasikanlah karya terlebih dahulu dan tunggulah kejutan-kejutan yang menarik.


Radinal Mukhtar Harahap, alumnus PP. Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Bermukim di Pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya.

sumber: http://menuliskreatif.com/2009/05/tips-menulis-cerpen/
MARI BERSAMA GURATKAN KATA UNTUK MENGUBAH DUNIA
free counters

Total Tayangan