Obrolan Seputar Hilal bareng Keponakanku

*Obrolan Seputar Hilal bareng Keponakanku Beberapah hari lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, bulan yang sangat dirindu-rindukan ummat islam, bulan yang keberkahannya tidak hanya bagi ummat islam namun juga bagi seluruh ummat manusia dan alam semesta. Berbagai macam produk makanan dan minuman telah menghiasi layar televisi, dan berbagai macam produk lainnya yang turut mewarnai ramadhan, kembang api dan petasan juga tak mau ketinggalan, itu yang sering menonjol dalam mengikuti hiruk pikuk bulan mulia ini. Eits... jangan salah, tidak hanya itu ternyata kawan. Coba perhatikan di masjid-masjid dan mushola, di tempat-tempat mulia itu juga tidak kalah seru dalam menyambut bulan seribu berkah ini. Jadwal-jadwal pesantren ramadhan telah tersusun rapi, jadwal pembagian ta’jil, jadwal imam sholat tarowih, jadwal pengisi mau’idhoh hasanah sebelum sholat tarowih dan sesudah sholat shubuh juga telah tersusun rapi. Begitu keren bukan? Tidak hanya itu, dikalangan akademisi juga tidak mau kalah dalam gegap gempita menyambut bulan ramadhan. Namanya juga kalangan akademisi, pastinya lebih teoritis dan praktis yang memiliki referensi khasanah bidang keilmuan terpercaya dalam penyambutannya. Ada berbagai macam cara yang dilakukan kalangan akademisi dalam turut serta penyambutan bulan ramadhan setiap tahunnya. Dari penentuan tanggal satu ramadhan, pembuatan jadwal imsakiyah dan ifthor, misi dakwah untuk berburu ladang pahala yang berlipat ganda dan masih banyak yang lainnya. Bicara masalah penentuan tanggal satu ramadhan, ini merupakan permasalahan yang cukup menarik untuk diamati, terutama di indonesia. Secara terbuka saja, di Indonesia ada dua organisasi islam terbesar di dunia yang memiliki pengaruh dalam menentukan penanggalan hijriyah tersebut. Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Jauh hari ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin telah mengumumkan bahwa tanggal satu ramadhan pada tahun ini bertepatan dengan tanggal sembilan Juli tahun 2013. Namun berbeda dengan Nahdhatul Ulama (NU). PBNU melalui ketua umumnya KH. Said Aqil Sirodj menunggu keputusan sidang istbat oleh pemerintah indonesia yang diwakili oleh kementrian agama terlebih dahulu. Dua ormas keagamaan ini sama-sama memiliki landasan yang kuat, dan memiliki hujjah yang berdasar pada hadis dan nash Alqur’an. Perbedaan penentuan penanggalan hijriyah khususnya pada penanggalan yang menyangkut hari besar ummat islam merupakan suatu hal yang sangat klasik. Umumnya perbedaan itu kental terjadi di Indonesia. Padahal perbedaan ini juga telah terjadi jauh pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Mengapa di Indonesia terjadi demikian? Bukankah suatu perihal yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu merupakan tanggung jawab pemerintah? Nah begitulah, masing-masing ormas keagamaan fanatis terhadap keyakinan furuiyah yang mereka yakini, dan tidak memedulikan pemerintah yang menjadi ulul amri dan yang diharapkan mampu menjembatani perbedaan tersebut. Disini saya ingin bercerita sedikit mengenai perbedaan penentuan tanggal satu ramadhan di tahun ini. Cerita ini berdasar percakapan saya dengan keponakan saya pagi tadi. Keponakan saya yang berumur sepuluh tahun dan menginjak sebelas tahun di bulan november nanti keingintahuannya akan perbedaan penetuan tanggal satu ramadhan sangat besar. Sampai-sampai saya harus memutar otak untuk merangkai jawaban yang mudah dicerna untuk anak seumuran keponakanku ini. Seperti biasa di pagi hari setelah semua pekerjaan rumah usai, saya dan keponakan saya duduk-duduk di beranda rumah untuk sekedar becanda dan bincang-bincang ringan. Setelah ngobrol dan becanda ke sana-ke sini, sampailah obrolan yang menuju pada aktivitas bulan ramadhan. Keponakanku ini terbiasa memanggilku dengan panggilan “Lek” “Lek, puasa besok pilih tanggal berapa? Tanggal sembilan atau sepuluh?” keponakanku dengan nada serius bertanya mengenai pendapat saya dalam menentukan pilihan awal puasa. “Wah kalau aku sih yang pasti puasa di tanggal satu ramadhan hahaha... kalau tanggal sembilan atau sepuluh berarti puasanya bolong delapan atau sembilan hari noh? Tidak sebulan penuh kalau begitu puasanya!” dengan santai dan nada becanda saya menanggapi pertanyaan keponakan saya. “Tenanan kog... kalau itu sih aku juga paham... yang aku maksud itu tanggal mulai awal puasanya bertepatan dengan tanggal sembilan Juli atau sepuluh Juli lek??” raut muka keponakanku semakin serius bertanya meski dia juga tak tahan untuk ikut tertawa. “Menunggu keputusan sidang istbat pemerintah dek, kalau pemerintah menetapkan awal puasa di tanggal sembilan Juli, ya manut... kalau di tanggal sepuluh Juli ya manut... tapi yang pasti tu puasanya di tanggal satu ramadhan kog dek, siapapun pasti sepakat!” Saya dan keponakan saya tertawa lepas meski keponakan saya masih berontak dan menyiapkan amunisi untuk menanyakan lebih lanjut mengenai keputusan tersebut. “Kog bisa berbeda itu kenapa to lek? Mbok yao sama kan lebih rukun..” “Ya begitulah dek, perbedaan itu kan indah... seperti pelangi, memiliki berbagai warna dalam satu formasi lengkung di atas langit. Begitu juga dengan Islam, perbedaan-perbedaan yang timbul itu seharusnya bisa menjadikan lebih bijak dalam menanggapinya!” “Lalu alasannya kenapa kog tanggal satu ramadhannya berbeda itu bagaimana lek?” Pertanyaan keponakan saya ini cukup susah kujawab, pasalnya saya juga tidak begitu memahami tentang ilmu falakiyah dan astronomi. Namun, berdasar dari beberapa sumber bacaan terpercaya yang pernah saya baca mudah-mudahan bisa mengobati rasa keingintahuannya itu. “Begini dek, Muhammadiyah dan NU memiliki dasar tersendiri yang dijadikan pedoman dalam menentukan penanggalan hijriyah. Kalau menurut Muhammadiyah, satu ramadhan itu terjadi ketika matahari, bumi, bulan itu sudah berada pada satu garis lurus yang disebut ijtima’ atau pertemuan satu garis lurus antara matahari, bumi dan bulan. Jika itu sudah terjadi, maka besoknya itu sudah bisa dikatakan sebagai tanggal satu ramadhan. Nah, pada hari senin tanggal delapan Juli besok ini, menurut perhitungan astronomi atau yang biasa disebut Hisab, kedudukan matahari, bumi dan bulan itu sudah pada satu garis lurus yang disebut ijtima’.” “Loh, bukannya kalau matahari, bumi, dan rembulan itu terletak pada satu garis lurus itu terjadi gerhana bulan ya lek?” Imajinasi keponakan saya dalam memvisualisasikan keterangan saya itu ternyata belum sampai, kemudian perlahan saya melanjutkan penjelasan mengenai ijtima’. “Memang sih, kalau posisi matahari, bumi dan bulan terletak pada satu garis lurus itu bisa terjadi gerhana bulan, tapi posisi tersebut hanya berlaku ketika bulan pada tanggal purnama dek. Tapi kalau ijtima’ yang dimaksudkan ini, bulan terletak pada posisi penanggalan bulan muda. Di pelajaran IPA kemarin ada kan? Posisi bulan muda, bulan sabit, bulan purnama dan bulan tua?” “Ooo.. begitu to?” Kali ini keponakanku tidak protes, karena mungkin ini pengetahuan baru bagi dia. “Lalu, untuk NU bagaimana lek?” “Kalau NU, itu menggunakan metode ru’yat dek. Melihat dengan mata telanjang atau sekarang sesuai dengan kemajuan jaman, bisa menggunakan bantuan teropong untuk melihat bulan muda yang disebut Hilal. Nah, jika hilal tersebut sudah bisa terlihat dengan ketinggian tertentu, maka baru bisa dipastikan untuk esok harinya itu merupakan tanggal satu ramadhan.” Berhubung keponakan saya ini juga suka mengikuti acara berita di televisi mengenai penentuan tanggal satu ramadhan, maka pertanyaannya masih lanjut. “Lha berarti, jika tadi pada tanggal delapan Juli, menurut Muhammadiyah sudah ada bulan baru, kenapa kog NU tidak sependapat lek?” Pertanyaannya semakin rumit nih. “Mari kita ilustrasikan begini dek, pada tanggal delapan kan baru terjadi ijtima’ matahari, bumi dan bulan. Entah terjadi pada jam berapa aku juga belum paham. Berarti posisi dan bentuk bulan masih sangat rendah dan tipis sekali kan dek? Akan sangat sulit untuk bisa dilihat dengan teropong secanggih apapun, itu menurut ahli astronomi sih... dan NU memperhitungkan dengan penuh seksama dan membuat kesepakatan bersama dengan pakar astronomi sepakat bahwa tinggi hilal yang bisa di ru’yat itu sekitar dua derajat. Bahkan dengan ketinggian dua derajat itu, hilal masih sangat kecil dan sulit untuk dilihat. Pemerintah bekerjasama dengan lajnah falakiyah NU, para pakar astronomi dan berbagai pakar lainnya melakukan kegiatan ru’yatul hilal atau melihat hilal dari berbagai titik daerah di Indonesia. Tujuannya itu agar mendapatkan hasil yang akurat dan dapat dipercaya dari berbagai tempat. Dan perlu diketahui dek, semua peserta yang mengikuti ru’yatul hilal itu telah bersertifikasi dan telah disumpah untuk melaporkan hasil yang diamatinya.” “Dek Gandhang mandi...” Tiba-tiba suara perintah untuk mandi dari ibu keponakan saya yang merupakan kakak saya memecahkan keseriusan kami dalam bercerita mengenai hilal. “Nggih buk... niki lho, nembe cerito-cerito riyen...” Keponakanku yang rupanya tengah asik mendengarkan penjelasan saya, enggan untuk menanggapi perintah ibunya itu. “Sekarang!!! Lek Wawan juga...” Untuk perintah yang satu ini tidak dapat ditawar lagi, saya dan keponakan saya lari tunggang langgang untuk segera mengambil handuk dan berebut kamar mandi. “Nanti setelah mandi dilanjutkan lagi ya lek!” Pinta keponakan saya sambil mencopoti bajunya diruang tengah dan segera meluncur ke kamar mandi. Lima belas menit berlalu, saya dan keponakan saya telah rapi, wangi dan tambah ganteng usai mandi. Kemudian dengan tidak sabar, keponakan saya menuju ke kamar saya untuk menagih janji meneruskan cerita saya mengenai hilal. “Ayo lek lanjutkan ceritanya!” “Ada syaratnya haha...” bukan saya namanya kalau tidak mencandainya terlebih dulu, memanfaatkan keseriusan keponakan saya dalam melanjutkan penjelasan tadi. “Emangnya apa sayaratnya lek?” seolah menantang dan sanggup untuk melakukan persyaratan demi sepotong cerita yang masih dipenasaraninya. “Pijitin aku dulu hehe...” “Wegah!!!!!” “Kalau tidak mau ya udah” “Haiyaaahhh senengane.... ya ya.. nie tak pijitin...” Meski dengan muka penuh protes, tapi kali ini saya yang menang! “Ceritanya emang tadi sampai mana dek?” tanyaku berpura-pura lupa untuk mengulur waktu. Aslinya sih tinggal sedikit lagi penjelasannya. “Sampai pada pemerintah menentukan hilal itu lho lek...” Sambil mengencangkan pijitannya di pundak saya dan meninju kecil, keponakan saya seakan protes mengetahui kepura-puraan saya itu. “Oh iya ding hehe...” “Cepet to!!!” “Nah tadi kan pemerintah bekerjasama untuk melakukan ru’yatul hilal to dek? Setelah itu, pemerintah yang diwakili oleh menteri agama, siapa hayo nama menteri agama kita?” Dengan nada bengis keponakan saya menjawab pertanyaan yang sangat tidak ingin dia jawab itu. “Surya Dharma Ali. Cepet lanjutkan to!” “Hahaha.. ya ya... besok tu dek, pada tanggal delapan Juli kemungkinan besar hari diadakannya pemantauan hilal atau ru’yatul hilal di seluruh tempat setrategis di Indonesia. Setelah itu, pemerintah mengadakan sidang istbat yang diketuai oleh menteri agama dan dihadiri oleh seluruh ormas islam, ada NU, FPI, PERSIS dan perwakilan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunai, negara-negara timur tengah dan masih banyak lainnya. Mungkin seperti tahun-tahun yang lalu, Muhammadiyah tidak berkenan hadir dalam sidang istbat itu.” “Lha kenapa Muhammadiyah tidak mau hadir dalam sidang itu lek?” “Kan Muhammadiyah sudah menetapkan tanggal satu ramadhan bertepatan dengan tanggal sembilan Juli dek, jadi keputusan sidang istbat tidak mempengaruhi ketetapan mereka.” “Ooo... lha terus, kamu pilih puasa di tanggal berapa lek? Ah pasti mengikuti pendapat NU to lek??” “Lha gimana enaknya? Pilih tanggal sembilan juli atau sepuluh juli? Kamu pilih tanggal sembilan juli aja dek, nanti tak pamerin makanan-makanan enak hahaha... aku pilih menunggu keputusan sidang istbat dulu saja kog dek.” “Walah urik.... mendingan kamu puasa tanggal sembilan juli aja lek, nanti kupameri makanan yang enak-enak hahaha...” Obrolan cerita penjelasan tentang penetapan tanggal satu ramadhan dengan keponakan saya diakhiri dengan melanjutkan menonton film-film kartun yang ditayangkan televisi untuk mengisi waktu liburan sekolah. Sungguh sangat disayangkan apabila perbedaan ini tidak bisa disikapi dengan bijak. Dan merupakan tugas pemerintah untuk menjembatani perbedaan tersebut. Tidak ada yang salah dalam mempertahankan pendapat masing-masing, yang tidak diperbolehkan adalah menyalahkan pendapat orang lain. Indahnya perbedaan di Indonesia, yang pemerintahpun menjamin hal itu dalam sebuah undang-undang dasar. Tidak seperti negara lain, yang menekankan satu keputusan dari pemerintah untuk diberlakukan kepada seluruh warga negaranya. Namun dibalik itu semua terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing. KomentarBagikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARI BERSAMA GURATKAN KATA UNTUK MENGUBAH DUNIA
free counters

Total Tayangan